Minggu, 07 Agustus 2016

Yang Hilang

Matahari terbenam, dan aku limbung mencari yang hilang. Sesak, seperti menelan racun tapi tak kunjung mati.Mungkin begini pula rasanya seorang bayi saat meratapi kepergian ibunya. Hidup serasa putus, dunia berubah jadi gelap. 

Kadang aku tak sadar tiba-tiba berada di suatu tempat. Gugup dan kebingungan. Lalu aku bertanya pada orang-orang sekitar. Mereka menjawab bahwa melihatku berjalan mengelilingi danau sejak matahari terbenam. Aku tampak mencari sesuatu sambil menekuri jalanan, tanpa alas kaki, kata mereka. Kemudian aku menertawakan diriku sendiri. Aku takut ditertawakan lebih dahulu. Aku curiga aku gila.

Aku bertekad ke dokter. Memeriksakan jiwaku yang demam. Tapi dokter bilang aku sehat. Untuk apa pula ku bayar mahal-mahal dokter jika hanya untuk menggelengkan kepala, "kamu tidak kenapa-kenapa". Apa bedanya dokter dan motifator kalau begitu.

***
Tiap waktu maghrib menjelang, tubuhku gemetaran, keringat mengucur tak bisa dibendung. Karena saat maghrib itulah aku tau aku akan kehilangan cahaya. Lalu diselimuti gelap yang memilukan. Aku meringkuk sampai tak bisa mendengar tangis sendiri. Mungkin disaat-saat seperti inilah aku tak sadar berjalan sendirian. Memanggil-manggil cahaya, mencarinya dari ujung ke ujung. 

Cahaya tak jua kembali, kecemasanku meningkat satu level. Aku harus punya siasat... 

(Bersambung...)

Senin, 8 Agustus 2016

2 komentar:

  1. Mbak Dwi, saya baca tulisan mbak di Kompasiana tentang bahasa Banyumasan. Cari kamus dialek Banyumasan dimana ya mbak? Saya lgi cari sumber buat skripsi hehehe :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Soembang, coba ke kantor majalah Ancas di Purwokerto, Jalan DI Panjaitan, pimpinan majalah Ancas adalah pak Ahmad Tohari sendiri, penyusun kamusnya,,

      Hapus