Jumat, 13 Februari 2015

Suatu Hari di Banjarnegara




Awal tahun ini aku berkesempatan menyalurkan bantuan untuk korban tanah longsor di dusun Jemblung, kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Meski  tidak menjadi relawan yang terjun berhari-hari, setidaknya kedatanganku dan teman-teman mewakili kepedulian banyak orang yang tidak bisa mengungkapkan empatinya secara langsung.
Kami berangkat dari Ibu kota pada hari Rabu (7/1), jam 7.30 WIB. Perjalanan dilakukan secara santai,karena memang kami tidak punya target waktu atau pun terburu-buru. Yang tertanam dalam benak kami adalah bisa sampai tujuan dengan selamat, lalu menyampaikan amanah yang dititipkan orang-orang untuk korban.

Setelah sempat bermalam di rumah Pak Pudjo Sumedi di Banyumas, aku, Yusuf, Arif, Eko, Ari dan sang pengemudi, Mas Kimin pun melanjutkan perjalanan Kamis paginya. Perjalanan yang menegangkan sebab menaiki bukit yang berkelok-kelok, jurang-jurang dengan struktur tanah yang labil. Sungguh membuat mulut komat-kamit melantunkan do’a. Beruntung sang pengemudi adalah pengemudi handal dengan jam terbang tinggi sehingga  bisa lebih rileks saat menaklukan jalanan.

Melihat kondisi tanah di Banjarnegara, aku langsung memahami bahwa bencana tanah longsor pada Jum’at, 12/12/2014 itu pantas saja terjadi. Bagaimana mungkin tanah yang labil seperti yang aku lihat itu dapat menyangga bangunan-bangunan dengan kuat? Sedangkan tanpa didirikan bangunan di atasnya pun kemungkinan longsor dipastikan sangat besar. Apalagi jika ditambah persoalan tanaman-tanaman yang ditanam oleh warga tidak begitu mendukung penguatan tanah atau bukit, seperti pohon-pohon salak yang akarnya tidak mencekeram bumi.

Tebing yang mengalami longsor kecil di sepanjang jalan desa Karangkobar





Jalan aspal yang sudah longsor separoh


Gunung Lawe, gunung bebatuan yang berpotensi longsor akibat pelapukan

Setelah menghabiskan waktu sekitar 2 jam-an untuk membelah bukit, kami pun sampai ke lokasi yang dituju. Kami melewati tempat terjadinya bencana maha dahsyat itu, masyarakat sekitar menyebutnya tsunami tanah. Disebut tsunami tanah karena kejadian longsor ini terlihat khusus, yaitu tanah yang ada di bukit menyembur ke daerah sekitar. Sehingga korban yang tertimpa tanah bukan hanya warga yang tinggal di bawah bukit.

Lokasi longsor
Tanah yang longsor sampai menyeberang jalan raya dan berdampak lebih luas
Bantuan berupa uang tunai, pakaian dan makanan kami serahkan ke posko Muhammadiyah  Karangkobar. Disana sudah ada pak Harto dan rekan-rekannya yang menunggu kami. Kedatangan kami disambut dengan hangat. Mereka merasa senang dengan kepedulian banyak orang yang terus mengalir, bahkan meski bencana itu telah berlalu.

Banyak hal yang musti dipikirkan dan dirancang setelah bencana terjadi. Maka dari itu Pak Harto dan kawan-kawan telah membuat program-program pasca bencana. Program-program ini tentunya diperuntukan bagi korban, lokasi, dan masyarakat terdampak yang butuh pemulihan sekaligus bantuan. Diantaranya tempat tinggal, pakaian, MCK, jalan, dan tentunya pendidikan untuk para korban yang masih bersekolah. Apalagi anak-anak yang menjadi yatim karena orang tuanya tidak terselamatkan pada bencana tanah longsor tersebut.

Bantuan berupa pakaian diterima oleh Ibu Lili

Aktivitas Dapur Umum di salah satu rumah warga



Bersama crew Dapur Umum
Setelah menyerahkan bantuan dan berbincang-bincang dengan panitia yang bertugas di posko Muhammadiyah, kami pun mohon pamit. Kami tidak sempat menemui para korban karena kami tiba di posko siang hari, yaitu waktu dimana para korban sedang beraktivitas. Kami sangat bersyukur dapat menunaikan tugas dengan baik. Semoga orang-orang yang menitipkan bantuannya kepada kami mendapat pahala yang setimpal. Begitu juga bagi para korban dan warga sekitar desa Karangkobar mudah-mudahan diberi kelapangan untuk menerima cobaan yang diberikan...aamiin...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar