Sabtu, 28 Februari 2015

Serunya Belajar Protokol



Humas UHAMKA doc.


Waktu masih kuliah, aku penasaran banget dengan keprotokoleran (maklum bukan mahasiswa FISIP). Kenapa sih setiap Badan eksekutif Mahasiswa (BEM) atau institusi kampus mau ngadain acara yang mengundang instansi pemerintahan pusat selalu ada ritual-ritual khusus untuk menjamu mereka. Bahkan terkadang perlu menyiapkan “sajen” yang menjadi prasyarat bagi kedatangan pejabat. Semua yang BEM atau kampus lakukan itu selalu berdasar pada “Sesuai dengan permintaan protokoler pejabat anu...”. Wow... sungguh sakti titah protokol ini. Tidak boleh tidak, kalau acara Anda mau didatangi pejabat penting, Anda harus mengikuti petunjuk tim protokol. Harus!

Sebegitunya kah?

Ya memang begitu. Akhir Februari ini, tepatnya hari Jum’at  tanggal 27, rasa penasaranku sedikit terjawab. Aku mengikuti workshop Protokoler yang diisi oleh beberapa praktisi yang tentunya bergerak langsung di bidang keprotokoleran. 


Pembicara pertama adalah Neni Herlina. Dia seorang Humas Ditjen Dikti sekaligus tim protokoler kenegaraan. Sering liat kan acara-acara kenegaraan di tipi? Pastinya rapi, disiplin dan efisien. Kok bisa ya? Ya bisa lah, acara-acara resmi yang diselenggarakan negara tentu saja disiapkan jauh-jauh hari, memiliki tim protokoler yang lengkap, rapat koordinasi berkali-kali, bahkan gladi resik menjadi rangkaian wajib sebelum acara yang sesungguhnya berlangsung.

Jadi protokol itu apa?

Sederhananya protokol itu ya tata cara penyelenggaraan sebuah acara agar acara berjalan lancar, sukses. Untuk suksesnya sebuah acara maka kita butuh alat. Alat itu ya protokol, sebuah sistem yang bermain untuk berputarnya acara dengan baik dan sempurna. 

Pembicara yang lain, Dr. Sri Mustika, M.Si. memberikan penjelasan lebih simpel tentang protokol. “Protokol bisa diartikan sebagai etika dalam acara”. Etika ini juga terkait dengan kebiasaan atau budaya setempat. Dosen FISIP UHAMKA tersebut lebih menekankan bagaimana tim protokol mampu menjamu tamu dengan baik. Karena setiap acara pasti dihadiri tamu-tamu yang perlu dilayani. Maka tugas protokoler adalah memuaskan tamu yang hadir. Jika tamu puas, merasa disambut dan dilayani dengan baik, itu indikasi bahwa sebuah acara sukses.

Jika mengacu pada konsepsi yang dibuat Dr. Sri Mustika diatas, maka menurutku protokoler sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Beliau orang yang selalu menjamu tamu dengan sebaik-baiknya. Yang selalu meninggalkan kesan tak terlupakan bagi setiap orang yang menemuinya. Bahkan apakah mungkin kaum Muhajirin dapat merasa tersambut sekaligus “kerasan” ketika tiba di Madinah tanpa penyambutan yang luar biasa dari kaum Anshor. Pasti ada tim protokol di kaum Anshor meskipun tidak pernah diungkapkan secara langsung dalam teks-teks sejarah. 

Protokoler yang baik, menurut Neni Herlina harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut;

1.        Mempunyai ilmu
Ilmu atau teori adalah landasan orang untuk bergerak. Maka ilmu perlu dikuasai sebelum orang melaksanakan tugas keprotokoleran. Tapi ilmu tidak melulu harus di dapat melalui pendidikan formal. Kita bisa belajar dari protokoler langsung, melihat suatu acara atau membaca dari buku.

2.       Mempunyai mental yang kuat
Seorang protokoler akan bertemu dan melayani tamu-tamu penting. Apalagi untuk sebuah acara resmi, protokoler dituntut untuk sempurna. Jika tidak punya mental yang kuat, bisa stres lah seorang protokoler. Karena dia akan menghadapi manusia dengan berbagai karakter dan permintaan.

3.       Terampil dalam menyikapi persoalan-persoalan  di lapangan.
Terkadang, banyak hal terjadi diluar skenario. Kendala-kendala teknis atau miskomunikasi sangat mungkin terjadi. Maka, seorang protokoler harus siap menyikapi persoalan yang muncul.

4.       Mampu mengambil keputusan
Kalau ada masalah yang dapat menghambat acara, seorang protokoler harus mengambil keputusan secara cepat dan tepat.

5.       Peka terhadap kondisi
Meskipun seorang protokoler sudah menjalankan tugas sesuai prosedur, tapi bisa saja muncul kondisi yang berbeda atau luput dari perencanaan. Maka seorang protokoler harus peka. Misalnya ketika dalam suatu acara terlihat ada tamu yang kipas-kipas, seorang protokoler harus mampu menangkap pesannya. Mungkin tamu merasakan gerah, AC kurang dingin atau ruangan terlalu pengap.

6.       Bersikap ramah
Protoler judes? No way! Tentu saja tamu-tamu akan merasa ilfil dan tidak nyaman. Jadi jangan judes-judes ya....

7.       Tegas dan disiplin
Bisa ancur dong acara kalau protokolernya gak disiplin. Ketegasan itu sebenarnya terintegrasi dalam kedisiplinan. Contoh: dalam acara kenegeraan yang khidmat, protokoler harus tegas melarang  tamu undangan yang datang telat untuk mengikuti acara. Karena kedatangan tamu yang telat itu bisa merusak kekhidmatan sebuah acara.

8.       Pandai membawa diri
Mau tak mau, protokoler harus bisa menempatkan dirinya. Dia tahu sedang berhadapan dengan siapa, harus bersikap seperti apa. Tidak bisa protokoler itu seenaknya sendiri. Apalagi bersikap arogan.

Wah...banyak juga ya syarat-syaratnya...? Tapi gak usah  berkecil hati, kamu bisa kok.. Coba aja  terlibat di acara-acara yang kecil dulu. Acara 17-an tingkat RT misalnya. Coba dech, kalau kamu sukses mengendalikan acara hingga selesai, berarti kamu sudah bisa menjadi protokoler.. Selamat...selamat ya...he..he..

Kita lanjut di diskusi selanjutnya...

Pembicara ke tiga ini adalah pewara kondang. Siapa yang gak kenal Ibu Nurlina Rahman hayoo..? Ini lho pewara yang jam terbangnya udah ribuan. Kurang lebih 20 tahunan berprofesi sebagai pewara. Kini menjadi dosen FISIP UHAMKA dan masih menjadi pewara di berbagai acara, mulai dari tingkat kelurahan sampai kenegaraan.

Eh tau kan arti pewara? Gak tau? Aku juga baru tau kok... Ternyata pewara itu istilah populer yang dulu sering digunakan untuk menyebut MC. Kalau sekarang kita taunya istilah MC aja ya, padahal banyak lho istilah-istilah pembawa acara, tergantung dari jenis acaranya. Misal pembawa acara untuk acara resmi disebut pewara, kalau di pengadilan disebut presenter, untuk acara hiburan semi resmi disebut MC.
Nurlina Rahman saat membawakan acara (Nurlina doc)
Bersama Ibu Lina, sapaan akrab dari Nurlina Rahman ini, workshop keprotokoleran semakin seru. Setiap peserta diberi kesempatan untuk praktek membacakan sebuah narasi acara (Lumayan kan, sekali-kalinya kita latian ngomong di depan orang-orang, biasanya sih di depan cermin atau di kamar mandi...).

Alhamdulillah yah aku  sedikit bisa membaca narasi berita. Gerogi pasti ada, tapi apa iya hanya karena alasan gerogi kita tidak pernah mau belajar. Bu Lina bilang, “Mau gak sih kita ngasih kesempatan pada diri kita?”, nah lo nohok banget kan dengar kalimat reflektif dari ibu muda cantik ini.. Ih pokoknya jadi nambah semangat dech dimotifasi sama bu Lina. Bikin hati jadi melayang-layang, berasa udah jadi MC di acara penganugrahan tingkat nasional..ha..ha...

Aku merasa sangat beruntung tergabung dalam workshop ini. Bukan hanya diberi kesempatan praktek, tapi Bu Lina juga tidak pelit-pelit membagi tips untuk menjadi MC yang baik, menarik dan menggugah.  Beberapa diantaranya tentang pilihan kata, teknik berbicara, cara mengatasi demam panggung, berpenampilan, sampai ke hal kecil, cara memegang mic. Asik, seru. Kalau pengen tau lebih detail mungkin nanti bisa baca buku Bu Lina aja ya... Beliau sedang mencetak buku tentang keprotokoleran. Aku juga lagi nunggu-nunggu banget buku tersebut (berharap dibagi satu,hehe..).

Setelah belajar sedikit ilmu keprotokoleran tadi, tentu saja kita tak boleh lekas berpuas diri. Intinya, kata Bu Lina lagi, “Jangan menyepelekan acara sekecil apa pun. Semua acara, baik di tingkat RT maupun nasional, harus dipersiapkan, dan profesional.” Wah...ini nih yang kadang luput dari diri kita (merasa sudah tinggi jam terbangnya kemudian menyepelekan acara kecil). Maka dari itu sebaiknya kita terus mengasah potensi kita dan menghargai setiap kepercayaan yang diberikan.

Baiklah pemirsa, demikian tadi informasi  yang dapat kami sajikan untuk Anda. Saya Dwi setyowati pamit undur diri. Selamat berakhir pekan. Jayalah Indonesia! (Gaya pembaca berita).

Jakarta, di akhir pekan, 28 Februari (bulan yang paling pendek) 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar