Kamis, 14 April 2016

Kenikmatan Menindas

Apa yang akan saya sampaikan adalah sebuah kutipan dari seorang besar yang hidupnya hanya melawan, dan melawan, Pramudya Ananta Toer

Membaca karya-karya Pram, seperti terbakar oleh kobaran api yang besar. Dia menjilat-jilat dengan cepat sampai jiwa kelimpungan, berguling-guling sambil mengutuki kekejian.

Sebuah warisan terkutuk dari jaman kolonial. Buku yang ditulis kurang lebih setengah abad lalu, "Rumah Kaca". Awal kemerdekaan yang penuh dilema. Seperti seorang papa yang belum berhasil move on dari sang mantan. Begitulah ibarat yang disematkan pada bangsa yang baru merdeka tapi masih dibayang-bayangi watak kolonial.

Dan sampai kapan bayang-bayang itu lepas? 
Entahlah.., Apa yang dinyatakan Pram, nyatanya malah semakin lekat, dan lekat dalam diri kita. Hari ini.

Begini katanya,

"Yang kuat lah yang berhak menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Dari atas ke bawah yang ada adalah larangan, penindasan, perintah, semprotan, hinaan. Dari bawah ke atas yang ada adalah penjilatan, kepatuhan dan penghambaan.

Melarang adalah kesukaan kolonial yang memberikan kenikmatan tersendiri. Rasa-rasanya diri menjadi lebih penting dan berkuasa.
Menindas juga adalah watak kolonial. Kenikmatan yang dihasilkan oleh perbuatan menindas lebih mendalam daripada hanya melarang."

Kenapa begitu, kening kita berkerut. Kalau kita lemah, apakah harus pasrah pada yang kuat. Istilahnya, suka-suka yang kuat lah pengennya gimana. Kita mah nerima aja. Dan yang kuat pasti benar! Kalau pun kaki yang kuat ada diatas kepala yang lemah, yang lemah patuh saja. Yang penting si kuat puas. 

Anehnya si kuat seperti mengalami candu untuk menindas. Terus dan terus dilakukannya penindasan. Dengan begitu mereka merasa hebat. Merasa penting. Mungkin mereka lupa bahwa mereka sedang berperan sebagai manusia. Bukan binatang buas yang berebut mangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar