-Kawal Kasus Siyono-
Kalau kamu seorang istri,
kemudian suamimu yang kamu tau dia seorang pekerja keras dan jujur,
tiba-tiba disergap aparat bersenjata untuk alasan yang sungguh hebat, yaitu “suamimu dianggap
orang yang berpengaruh terhadap stabilitas Negara”, bagaimana perasaanmu? Kalau
kamu seorang ibu, anak yang kamu dampingi pertumbuhannya sampai dia
dewasa, sampai dia sanggup membaktikan dirinya padamu, tiba-tiba digeledah
kasar dan dibawa pergi tanpa memberikan penjelasan yang terang, bagaimana kamu
rasai detak jantungmu? Atau siapa pun kamu, bagaimanakah jika orang dekat yang
senantiasa bersamamu, tiba-tiba dirampas dan dikembalikan dalam keadaan luka
tak bernyawa, tanpa kamu tau sebabnya.
Mengapa begitu mudah
menghilangkan nyawa untuk dikatakan hebat. Hebat dan bejat kemudian jadi
beda-beda tipis. Seringkali kita kehilangan orientasi kemanusiaan dalam ambisi
kekuasaan. Ketakutan jatuh, ketakutan kalah, telah membuat jiwa kita menjadi
buas. Menyingkirkan dan menghabisi orang lain dengan arogan.
Hari ini di Indonesia nyawa seorang
manusia melayang di tangan aparat tanpa proses hukum. Salahnya apa? Buktinya
mana? Prosedur seharusnya bagaimana? Pertanyaan itu seperti sebuah teka-teki silang
yang tidak menyediakan jumlah kotak jawaban yang singkron dengan
pertanyaannya-sulit. Apa pun alasannya
harus dijawab. Akhirnya dijawab-meski tidak masuk akal.
Siyono, nama pemuda asal Klaten
itu diduga sebagai teroris. Dia ditangkap petugas Densus 88 pada 8 Maret 2016. Namun
sebelum dugaan itu terbukti, 2 hari kemudian kabar kematiannya sampai pada sang
istri. Jenazah Siyono dikembalikan, istrinya diberi 2 gepok uang. Mereka piker 2
gepok uang itu mampu membereskan segalanya, 2 gepok uang itu mampu
menyembunyikan kebenaran. Namun sayang disayang, uang terlalu kecil untuk
membeli rasa keadilan. Istri Siyono berontak. Harga dirinya tegak.
Mati kenapa?
Kapolri bilang Siyono kelelahan
dalam usaha melawan petugas. Ya terang saja, mana mungkin Siyono tak lelah jika
harus berhadapan dengan kekuatan penguasa bersenjata? Tapi tugas aparat bukan
unjuk kekuatan dengan rakyat yang lemah. Berkelahi. Alasan yang memalukan.
Berkelahi itu antar TNI dengan tentara Negara lain yang menyerang, berkelahi
itu antara sekelompok pasukan khusus dengan sekelompok teroris yang kekuatannya
sepadan. Kalo preman berkelahi dengan seorang anak TK, itu konyol. Tidak
sepadan.
Selain itu, seorang warga Negara yang
baru terduga melakukan tindak kejahatan, tidak boleh diintimidasi apalagi
sampai terbunuh. Karena dugaan atau sangkaan itu tidak bisa membuktikan apapun.
Terduga tidak serta merta menjadi alasan penetapan orang menjadi bersalah. Siyono
tidak terbukti bersalah. Dan menghukum orang yang tidak bersalah adalah
kedzaliman besar. Kalau Siyono bersalah, datangkan bukti, lakukan proses
peradilan dan jatuhkan hukuman yang setimpal. Itu baru Negara hukum. Kalau
belum terbukti sudah dihukum, mau jadi apa Negara ini.
Mensikapi kedzaliman
Kalau kita diam dan membenarkan
tindakan Densus 88 berlaku sewenang-wenang, itu sama artinya kita mengijinkan
tindakan serupa akan terus berlangsung. Terus menerus. Mempergilirkan korban.
Bisa jadi hal serupa menimpa orang yang lain, orang dekat kita, atau kita
sendiri. Bersyukur Alhamdulillah, istri Siyono sendiri, Suratmi, kekeh untuk
mengungkap kebenaran dan meminta bantuan PP Muhammadiyah untuk melakukan autopsi
jenazah suaminya-meski harus terusir dari kampung halaman.
Sungguh mulia keteguhan hati
Suratmi. Ia rela membayar mahal sebuah pembuktian kematian suaminya meski misal dengan
pengusiran dirinya beserta 5 anaknya. Pengusiran ini, menurut berita Sang Pencerah, merupakan isyarat yang
dinyatakan oleh kepala desa Pogung yang tidak sepakat diadakan autopsi. Jika autopsi
ada, maka harus dilakukan diluar desa dan tidak boleh dimakamkan di desa Pogung
lagi. Selain itu keluarga Siyono juga harus angkat kaki dari kampung. (Mudah-mudahan ini tidak benar-benar terjadi)
Suratmi tidak bergeming. Ia terus
melaju bersama elemen-elemen yang mendukung tindakannya. Kalau anggota datasemen
khusus 88 terbukti bersalah, maka akan ada proses hukum. Begitulah seharusnya.
Pengusutan kasus ini harus terus dikawal. Mengingat sejauh ini dalam catatan
Komnas HAM, ada sebanyak 121 warga, termasuk Siyono, yang ditewaskan Densus 88
dalam tindak pemberantasan teroris. Tragis! Ingat, tugas Densus 88 memberantas
teroris, bukan menciptakan terror tandingan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar