Senin, 18 Agustus 2014

Memanggil Kembali Ruh Indonesia

Setelah mengikuti upacara pengibaran bendera Sang Merah Putih untuk memperingati HUT RI ke-69 kemarin, pagi ini kembali aku menyadari tak ada ruh apa pun di tubuh bangsa ini. Bahwa Ia berjalan memang berjalan, tapi nafas dan detak jantungnya entah seperti apa, aku tak merasakannya. Tangan kananku yang membentuk pola hormat kepada sang saka merah putih saat upacara berlangsung, tubuhku yang berdiri tegak dibawah terpaan sinar mentari, telingaku yang tak singkron dengan otakku saat lagu-lagu kebangsaan dinyanyikan, dan tatap mata yang lurus tapi kabur, menyiratkan kekosongan jiwa dalam segala pengkhayatan pribadi kepada negeri ini. Dan aku sedih mengalami kehampaan fatal sebagai putra bangsa.
Tengoklah ke dalam sebelum berteriak merdeka! (Fotografer: Amin Bellet)

Merasakan jarak yang begitu jauh antara negara dan rakyatnya. Padahal seingat saya, negara ini lahir karena keinginan rakyatnya. Maka logika yang dipakai adalah negara tunduk terhadap kehendak rakyatnya. Negara itu sudah inhern dengan rakyat, muncul sebagai perwujudan cita-cita rakyat. Maka ketika negara sudah memberi jarak atau bahkan memisahkan diri dari rakyat, Ia telah kehilangan hakekat kelahirannya. Yang dimaksud dengan jarak yang begitu jauh adalah saat negara duduk sebagai lembaga kepentingan orang per orang, bukan lembaga yang semestinya dimiliki oleh rakyat yang melahirkannya.

Bagaimana mungkin negara mempersulit akses pendidikan bagi rakyatnya? Bagaimana mungkin negara melakukan pembiaran terhadap berbagai konflik kekerasan yang terjadi di tengah-tengah rakyatnya? Bagaimana bisa negara menggusur rakyatnya dengan cara-cara sadis? Bagaimana boleh negara merasa terbebani untuk memberi subsidi kepada rakyatnya? Bagaimana mungkin negara acuh tak acuh dengan berbagai rekomendasi rakyat yang dibuat untuk kepentingan rakyat itu sendiri? Lalu apa landasan negara ini dibentuk? Apa fungsinya?

Beberapa rekan saat HUT RI 69 kemarin menyalamiku sambil berteriak "Merdeka!", bibir kecilku hanya membentuk senyum kecil lalu menjawab, "Belum!". Karena kita memang sedang mengalami masa-masa yang berat, menghadapi lawan-lawan dalam persekawanan. Dulu yang kita usir adalah imperialis. Siapa yang menjadi lawan dan kawan-kawan kita sudah jelas. Sekarang perjuangan itu bersama "siapa" dan terlalu menyakitkan jika harus menumpahkan darah dan air mata saudara sendiri. Menyikapi kebingungan dan kesedihan ini sesungguhnya perlu refleksi yang serius. Ketulusan mau berbuat dan kesadaran bersaudara dalam kesatuan Indonesia menjadi dasar untuk jernihnya penglihatan ke dalam.

Sekarang, kemerdekaan itu harus kita rebut kembali. Agar nafas dan detak jantung Indonesia kembali dirasakan oleh rakyatnya. Ada ruh disana, ada jiwa yang berkembang. Dengan berdaulat dan berwibawa Republik Indonesia berjalan menuju kebahagiaan rakyat, kemakmuran dan persaudaraan yang sebenar-benarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar