Minggu, 22 November 2015

Benarkah Mengalir Seperti Air?


Filosofi Hidup mengalir seperti air mungkin perlu dipertanyakan ulang. Bagaimana mungkin manusia yang punya potensi akal dan nurani akan berjalan begitu saja seperti hukum air yang pasrah terhadap ruang. "Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah". Begitu  terus. Sampai akhirnya nanti air akan tergenang ketika tidak ada tempat yang lebih rendah untuk mengalir. Air akan berhenti. Bagaimana manusia??

Rabu, 18 November 2015

Pahlawanku, Guru Yang Semangat, Kreatif dan Ikhlas

Di kampung, sekolah itu tidak wajib punya fasilitas bagus, yang wajib adalah punya  guru-guru yang semangat, kreatif dan ikhlas tentunya. Apalah jadinya jika sekolah di kampung yang berdiri dengan segala keterbatasan tidak didampingi oleh guru-guru hebat? Bisa bubarlah pendidikan, mandeklah potensi anak-anak dan terkuburlah cita-citanya.

Untungnya ada guru-guru yang hebat, itulah yang Saya rasakan saat menempuh pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah) di kampung dulu. Guru-guru yang tidak mengeluh saat gajinya telat (Sudah telat, sedikit pula!). Guru-guru yang tidak mengedepankan formalitas tapi mendorong substansi (pengalaman sekolah tanpa alas kaki karena banjir dan tidak pernah dipermasalahkan oleh guru). Guru-guru yang berbaur dengan muridnya dan menikmati setiap detik proses pembelajaran. Itulah sebabnya guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Saya sepakat!

Minggu, 08 November 2015

Menepi

Setiap orang perlu sesekali menepi. Hanya seorang diri untuk menentukan kedaulatannya. Untuk bicara apa yang penting bagi dirinya. Untuk mendialogkan dengan Tuhan apa yang sekiranya baik baginya tapi tidak pernah diketahuinya. Untuk menentukan jalan-jalan bercabang yang mengecohkan tujuannya. Karena di luar sana terkadang ada orang-orang yang tidak pernah betul-betul tahu tentang kondisi kita tapi sok tahu. Ada orang-orang yang tidak betul-betul peduli pada kita tapi sok peduli. Ada orang-orang yang tidak pernah menemukan kebijakan tapi sok bijak.

Diluar dugaan-dugaan buruk itu-sebagai upaya independensi dan obyektifitas kita-tetap perlu untuk berpraduga baik. Bahwa masih ada (banyak) yang betul-betul tulus untuk peduli, tahu dan bijak.

So ketika aku menepi itu bukan karena takabur atau tak butuh orang lain. Aku hanya butuh bertanya pada diriku, bertanya pada Tuhanku, dan memperoleh kemerdekaanku. Bukan aku yang menjadi sesuai keinginan orang lain. Bukan juga berlaku untuk menghindari ketidaksukaan orang lain. Mungkin akan ada yang merasa kecewa. Tapi terlalu repot jika kita berupaya memuaskan semua pihak.

Sangat berbahaya kalau hidup kita selalu berkerumun. Ingat! Kerumanan, grombolan, keramaian, kepadatan, dimana-mana selalu berpotensi menimbulkan gesekan. Hal itu wajar. Lalu lintas yang terlalu padat sangat berpotensi terhadap kecelakaan. Pasar yang terlalu sesak juga lebih berpotensi pada tindak kejahatan, atau minimal mudahnya tersulut emosi. Maka manusia butuh ruang bebas untuk melihat dirinya. Selain ruangan, satu yang perlu di bawa ke ruang privat itu, cermin besar!

Cobalah tatap diri kita pada cermin. Sempurnkah? Atau kita punya noda? Kalau iya, dimana letaknya? Maka menepilah, bercermin dengan hati yang terbuka.

Rabu, 04 November 2015

November yang Penuh Tanda Tanya

Antara hujan dan kemarau kadang terselip keabsurdan. Seperti cahaya bintang di musim peralihan. Ia tersamar meski berpijar. Lalu buru-buru kita mendakwa gelap. Padahal tidak. Hanya kita kurang cermat terhadap realitas yang tertutupi. Jadi?