Sabtu, 30 Agustus 2014

Upaya Mengembalikan Surga

Terdapat gambaran surga yang menarik dalam sebuah kitab suci salah satu agama samawi. Di sana surga digambarkan dengan sebentuk taman yang dihiasi sungai-sungai. Barangkali sungai itulah yang dianggap sebagai kemewahan
setimpal bagi orang-orang beriman yang mengerjakan kebajikan di dunia. Ya, ada sungai di surga.

Terlepas dari doktrin atau ajaran agama tersebut, bagi saya sungai adalah kegembiraan yang lepas, bebas. Suara gemercik dan air yang meliuk-liuk mengikuti hukum alam, mengisi ruang yang lebih rendah lalu memanjang sampai ke muara merupakan pesona yang melekat dalam-dalam pada ingatan dan rasa pengalaman yang menakjubkan. 






Hidup di kampung, tepatnya Desa Lumbir, salah satu desa di kabupaten Banyumas, Provinsi Jateng, membuat masa kecil saya dan teman-teman penuh dengan petualangan. Salah satu yang favorit adalah susur sungai. 


Kebetulan beberapa air sungai  di kampung kami masih jernih, alami dan segar, sehingga petualangan biasanya berujung dengan menikmati sensasi mandi di derasnya air yang mengalir. Kami semua akan tertawa lepas, saling mencipratkan air, berlomba menahan nafas di dalam air, menahan air yang jatuh di punggung dari ketinggian tertentu, dan sesekali berlaku pasrah dengan menghanyutkan badan mengikuti arus. 

Setelah dewasa, saya menyadari bahwa sungai merupakan guru sekaligus media belajar yang sangat menyenangkan. Walau sungai tidak pernah memberikan P.R. seperti halnya sekolah atau para guru, tapi waktu itu sungai punya kekuatan untuk selalu membuat kami datang padanya. Tanpa instruksi yang resmi, kami sering mengadakan pertemuan, berbagi cerita sambil menyusuri sungai atau pada saat mandi bersama, dan mengenali berbagai jenis tumbuhan yang ada di sekitar sungai. Karena bermain di sungai lah maka saya menjadi tahu seperti apa wujud daun pandan yang kata orang-orang bisa dijadikan bahan mentah untuk produksi tas. Kemudian kami jadi akrab dengan sayur pakis yang biasa tumbuh di pinggiran sungai dan pohon bambu yang saling berhimpitan atau tunasnya (rebung) yang biasa ibu-ibu kami masak untuk sayur atau lalab.

Tak jarang untuk menutupi kesalahan di hadapan ibu—karena bermain terlalu lama di sungai dan tak membantu pekerjaannya di rumah, maka kami memetik pakis dan memberikannya pada ibu. Dengan demikian ketika pulang rumah, kami merasa seperti pahlawan yang menyelamatkan anggaran keluarga karena ibu tak perlu membelanjakan uangnya untuk membeli sayuran, tetapi mendapat sayur pakis gratis yang dipetik oleh anaknya sendiri di tepian sungai.

Selain mandi, tak jarang pula kami mendatangi sungai untuk mencari ikan di pinggirannya. Berbekal alat penyerok sederhana, berupa jaring kecil yang menempel pada bambu yang dilengkungkan membentuk segitiga, kami menggiring ikan. 

Di sungai yang airnya mengalir deras, biasanya ikan tinggal di gorong-gorong sungai yang terdapat di pinggirannya atau di bawah akar pohon yang menjulur dan bergantungan di bibir tanah pinggir sungai. Di gorong-gorong atau sela-sela akar pohon inilah ikan merasa nyaman karena aliran air akan terasa lambat dan relatif lebih tenang untuk menahan tubuh ikan-ikan tersebut agar  berenang stabil. Jika beruntung kami mendapatkan ikan sungai yang orang-orang kampung menyebutnya ikan lunjar. Ukuran ikan lunjar hanya sebesar jari kelingking anak-anak. Walau kecil begitu, tapi kami puas telah berhasil menjaring ikan-ikan di sungai, mengeksplorasi kemampuan berburu walau dengan alat sederhana.

Dari sekelumit cerita di atas, pada akhirnya sebagai anak kampung saya merasa sangat bersyukur karena telah mendapat kesempatan dan pengalaman mendalam—mengenal sekaligus bersahabat dengan alam, dengan gemercik air sungai yang menggairahkan. Sebab  barangkali banyak di belahan dunia lain, entah di perkotaan yang penuh sesak oleh bangunan industri, atau di hamparan padang pasir yang gersang dan tandus, anak-anak atau orang-orang di sana tidak mendapat kesempatan menikmati kesejukan berteduh di tepian sungai atau berenang di dalamnya.
 
Sungai; Surga yang Mulai Tercemari

Dikemudian hari—setelah merantau ke ibukota--  saya mengetahui betapa sulitnya mendapati sungai yang jernih di sana. Kalau di kampung dulu, setiap kali melihat sungai ingin rasanya diri ini menanggalkan baju lalu terjun ke dalamnya, sekarang kalau melewati sungai di beberapa sudut kota, terpaksa saya harus memalingkan pandangan, bahkan sesekali  menahan nafas agar hidung ini tak tertusuk bau sampah. Ada perasaan kecewa, tak nyaman, saat menyaksikan sungai yang dulu selalu menjadi tempat perburuan masa kanak-kanak saya, kini di tempat lain Ia tak punya kekuatan lagi. Kekuatan yang selalu membuat kami datang padanya.

Saat melihat aliran air keruh yang masih juga disebut sebagai sungai oleh orang-orang, saya sudah tidak menyaksikan lagi kehidupan sungai yang menggairahkan. Sungai-sungai yang keruh dan mengangkut limbah industri itu mengalir seperti orang sakit dengan wajahnya yang pucat dan langkah tertatih. Sejenak saya berpikir, pasti tidak ada keluarga ikan yang bertahan hidup di sana. Tidak seperti sungai di kampung yang menampung berbagai spesies, termasuk ikan. Maka tidak ada aktivitas anak-anak kota di sungai yang mengarahkan ikan untuk memasuki jaringnya, apalagi untuk mandi. 

Di kampung, jika dulu saya dan teman-teman seringkali lomba bernafas di dalam air sungai, maka di sungai yang tercemar ini, hal itu adalah perbuatan gila dan sangat jelas merugikan.

Seperti apa pun keadaan sungai-sungai kita, gambaran sungai yang muncul saat ini adalah cerminan dari perilaku masyarakat sekitarnya—meskipun dalam beberapa hal ada dosa-dosa yang dilakuakan sedikit orang, tapi berdampak pada banyak orang. 

Sungai yang bersih merupakan cerminan dari masyarakat sekitar yang menerapkan pola hidup bersih. Sungai yang kumuh juga adalah cerminan dari masyarakat yang menerapkan pola hidup jorok, kumuh. Seperti halnya hukum air yang mengalir pasrah, Ia bisa diarahkan oleh tangan manusia untuk mengalir ke kanan dengan membentuk jalur aliran ke kanan, atau ke kiri dengan membentuk jalur aliran ke kiri, maka sungai juga akan pasrah untuk dibentuk sebagai pengangkut limbah atau dibentuk sebagai pemenuh kebutuhan rumah tangga, tergantung dari kehendak tangan-tangan manusianya.


Proteksi Negara dan Kesadaran Masyarakat 
 
Problem kerusakan lingkungan hidup seperti pencemaran sungai ini sebenarnya adalah efek domino yang bermula dari rendahnya pendidikan masyarakat. Rendahnya pendidikan masyarakat berdampak pada lemahnya kesadaran lingkungan. Lemahnya kesadaran lingkungan berdampak pada rendahnya inisiasi masyarakat untuk membangun sistem yang bisa memproteksi kelangsungan hidup manusia dan lingkungannya. Rendahnya inisiasi masyarakat juga akan berdampak terhadap lemahnya kontrol dan dorongan pada pemerintah untuk bertindak sesuai dengan kepentingan hidup masyarakatnya, yaitu kepentingan untuk memanfaatkan sumber daya alam, kepentingan untuk dapat melestarikan kehidupan.

Seperti kita ketahui bersama, wilayah Indonesia yang disangga oleh banyaknya gunung, baik yang aktiv ataupun tidak, menjadikan tanah Indonesia subur, mata air dan sungaipun mengaliri penduduknya, memenuhi berbagai keperluan hidup masyarakat yang tinggal di sana—termasuk memenuhi kebutuhan rasa batin yang puas dan bahagia dari dan bersama alam. 

Namun seiring perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia tidak mampu membendung ambisinya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang seringkali berlebih. Akibatnya gedung dibangun di sana-sini, eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggungjawab, dan penerapan teknologi yang merusak lingkungan. Salah satu dampak yang kasat mata bagi kita dan menyentuh emosional saya secara pribadi adalah kerusakan sungai. Padahal sudah sejak lama masyarakat yang tinggal di pegunungan bergantung betul pada sungai.  

Lalu siapa yang harus bertanggungjawab?
Proteksi negara menjadi penting untuk melindungi rakyatnya dari kerusakan lingkungan yang jelas-jelas merugikan. Tentu saja tugas negara yang dalam hal ini dilaksankan oleh pemerintah tidak cukup hanya membuat regulasi tentang lingkungan hidup, tapi yang paling mendasar adalah bagaimana menerapkan aturan main yang telah dibuat itu dengan semestinya. Seperti UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang saya rasa sudah sangat bagus dan rigid. Tapi ketika UU tersebut turun ke lapangan, pelaksanaannya menjadi multi tafsir, ditafsirkan sesuai dengan kepentingan yang menafsirkan. 

Dari sinilah kerusakan lingkungan hidup bermula, yaitu dari kerusakan etika beberapa oknum yang menginginkan keuntungan bagi dirinya dengan cara mengabaikan kepentingan masyarakat sekitarnya.  Misalnya saja penyelenggaraan suatu usaha tanpa melakukan proses analisis dampak lingkungan (AMDAL) terlebih dahulu,  atau pembangunan pabrik tanpa memperhatikan pengelolaan limbahnya, sehingga seringkali limbah pabrik lari dari pengawasan pemerintah dan dibuang ke sungai. Jadilah sungai kita semakin sakit dan terpuruk.

Selanjutnya untuk menciptakan keselarasan dan kelestarian lingkungan hidup, maka pengawasan dan penegakan hukum bagi pelanggar harus menjadi komitmen bulat-bulat pemerintah kita. Tanpa penegakan hukum, kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi hanya akan mengundang kerusakan-kerusakan selanjutnya karena pembiaran yang di lakukan.

Selain negara, tanggungjawab menjaga dan melestarikan lingkungan hidup tentunya juga menjadi tanggungjawab masyarakat sebagai warga negara. Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat, negara menjadi kehilangan kekuatan untuk melaksanakan tugasnya dalam menjamin keberlangsungan lingkungan hidup tersebut. 

Dukungan dan partisipasi masyarakat bisa dilakukan dengan menjaga kebersihan sungai atau lingkungan lain misalnya, mengelola limbah rumah tangga agar dapat dimanfaatkan, dan jika menemukan suatu kegiatan yang mengancam kelestarian lingkungan hidup hendaknya tidak segan-segan untuk melapor. Mari bersama-sama kembalikan surga kita, kehidupan kita yang mengalir segar seperti sungai-sungai kita!

1 komentar:

  1. Okey punya ni mba Dwi, mewakili apa yang dirasa banyak orang yang hidup dikampung lalu ke kota tentang sungai dan air :)

    BalasHapus