Terdapat gambaran surga yang menarik dalam sebuah kitab suci salah satu agama samawi. Di sana surga digambarkan dengan sebentuk taman yang dihiasi sungai-sungai. Barangkali sungai itulah yang dianggap sebagai kemewahan
setimpal bagi orang-orang beriman yang mengerjakan kebajikan di dunia. Ya, ada sungai di surga.
Terlepas dari doktrin atau ajaran agama tersebut, bagi saya sungai
adalah kegembiraan yang lepas, bebas. Suara gemercik dan air yang meliuk-liuk
mengikuti hukum alam, mengisi ruang yang lebih rendah lalu memanjang sampai ke
muara merupakan pesona yang melekat dalam-dalam pada ingatan dan rasa
pengalaman yang menakjubkan.
Hidup di kampung, tepatnya Desa Lumbir, salah satu desa di kabupaten
Banyumas, Provinsi Jateng, membuat masa kecil saya dan teman-teman penuh dengan
petualangan. Salah satu yang favorit adalah susur sungai.
Kebetulan beberapa air sungai di kampung kami masih jernih, alami dan segar, sehingga petualangan biasanya berujung dengan menikmati sensasi mandi di derasnya air yang mengalir. Kami semua akan tertawa lepas, saling mencipratkan air, berlomba menahan nafas di dalam air, menahan air yang jatuh di punggung dari ketinggian tertentu, dan sesekali berlaku pasrah dengan menghanyutkan badan mengikuti arus.
Kebetulan beberapa air sungai di kampung kami masih jernih, alami dan segar, sehingga petualangan biasanya berujung dengan menikmati sensasi mandi di derasnya air yang mengalir. Kami semua akan tertawa lepas, saling mencipratkan air, berlomba menahan nafas di dalam air, menahan air yang jatuh di punggung dari ketinggian tertentu, dan sesekali berlaku pasrah dengan menghanyutkan badan mengikuti arus.
Setelah dewasa, saya menyadari bahwa sungai merupakan guru sekaligus
media belajar yang sangat menyenangkan. Walau sungai tidak pernah memberikan
P.R. seperti halnya sekolah atau para guru, tapi waktu itu sungai punya
kekuatan untuk selalu membuat kami datang padanya. Tanpa instruksi yang resmi,
kami sering mengadakan pertemuan, berbagi cerita sambil menyusuri sungai atau pada
saat mandi bersama, dan mengenali berbagai jenis tumbuhan yang ada di sekitar
sungai. Karena bermain di sungai lah maka saya menjadi tahu seperti apa wujud
daun pandan yang kata orang-orang bisa dijadikan bahan mentah untuk produksi
tas. Kemudian kami jadi akrab dengan sayur pakis yang biasa tumbuh di pinggiran
sungai dan pohon bambu yang saling berhimpitan atau tunasnya (rebung) yang
biasa ibu-ibu kami masak untuk sayur atau lalab.
Tak jarang untuk menutupi kesalahan di hadapan ibu—karena bermain
terlalu lama di sungai dan tak membantu pekerjaannya di rumah, maka kami
memetik pakis dan memberikannya pada ibu. Dengan demikian ketika pulang rumah,
kami merasa seperti pahlawan yang menyelamatkan anggaran keluarga karena ibu
tak perlu membelanjakan uangnya untuk membeli sayuran, tetapi mendapat sayur
pakis gratis yang dipetik oleh anaknya sendiri di tepian sungai.
Selain mandi, tak jarang pula kami mendatangi sungai untuk mencari ikan
di pinggirannya. Berbekal alat penyerok sederhana, berupa jaring kecil yang menempel
pada bambu yang dilengkungkan membentuk segitiga, kami menggiring ikan.
Di sungai yang airnya mengalir deras, biasanya ikan tinggal di
gorong-gorong sungai yang terdapat di pinggirannya atau di bawah akar pohon
yang menjulur dan bergantungan di bibir tanah pinggir sungai. Di gorong-gorong
atau sela-sela akar pohon inilah ikan merasa nyaman karena aliran air akan
terasa lambat dan relatif lebih tenang untuk menahan tubuh ikan-ikan tersebut
agar berenang stabil. Jika beruntung
kami mendapatkan ikan sungai yang orang-orang kampung menyebutnya ikan lunjar.
Ukuran ikan lunjar hanya sebesar jari kelingking anak-anak. Walau kecil begitu,
tapi kami puas telah berhasil menjaring ikan-ikan di sungai, mengeksplorasi
kemampuan berburu walau dengan alat sederhana.
Dari sekelumit cerita di atas, pada akhirnya sebagai anak kampung saya
merasa sangat bersyukur karena telah mendapat kesempatan dan pengalaman
mendalam—mengenal sekaligus bersahabat dengan alam, dengan gemercik air sungai
yang menggairahkan. Sebab barangkali banyak
di belahan dunia lain, entah di perkotaan yang penuh sesak oleh bangunan
industri, atau di hamparan padang pasir yang gersang dan tandus, anak-anak atau
orang-orang di sana tidak mendapat kesempatan menikmati kesejukan berteduh di
tepian sungai atau berenang di dalamnya.
Sungai; Surga yang Mulai Tercemari
Dikemudian hari—setelah merantau ke ibukota-- saya mengetahui betapa sulitnya mendapati
sungai yang jernih di sana. Kalau di kampung dulu, setiap kali melihat sungai
ingin rasanya diri ini menanggalkan baju lalu terjun ke dalamnya, sekarang
kalau melewati sungai di beberapa sudut kota, terpaksa saya harus memalingkan
pandangan, bahkan sesekali menahan nafas
agar hidung ini tak tertusuk bau sampah. Ada perasaan kecewa, tak nyaman, saat
menyaksikan sungai yang dulu selalu menjadi tempat perburuan masa kanak-kanak
saya, kini di tempat lain Ia tak punya kekuatan lagi. Kekuatan yang selalu
membuat kami datang padanya.
Saat melihat aliran air keruh yang masih juga disebut sebagai sungai
oleh orang-orang, saya sudah tidak menyaksikan lagi kehidupan sungai yang
menggairahkan. Sungai-sungai yang keruh dan mengangkut limbah industri itu
mengalir seperti orang sakit dengan wajahnya yang pucat dan langkah tertatih.
Sejenak saya berpikir, pasti tidak ada keluarga ikan yang bertahan hidup di
sana. Tidak seperti sungai di kampung yang menampung berbagai spesies, termasuk
ikan. Maka tidak ada aktivitas anak-anak kota di sungai yang mengarahkan ikan
untuk memasuki jaringnya, apalagi untuk mandi.
Di kampung, jika dulu saya dan
teman-teman seringkali lomba bernafas di dalam air sungai, maka di sungai yang
tercemar ini, hal itu adalah perbuatan gila dan sangat jelas merugikan.
Seperti apa pun keadaan sungai-sungai kita, gambaran sungai yang muncul
saat ini adalah cerminan dari perilaku masyarakat sekitarnya—meskipun dalam
beberapa hal ada dosa-dosa yang dilakuakan sedikit orang, tapi berdampak pada
banyak orang.
Sungai yang bersih merupakan cerminan dari masyarakat sekitar yang
menerapkan pola hidup bersih. Sungai yang kumuh juga adalah cerminan dari
masyarakat yang menerapkan pola hidup jorok, kumuh. Seperti halnya hukum air yang
mengalir pasrah, Ia bisa diarahkan oleh tangan manusia untuk mengalir ke kanan
dengan membentuk jalur aliran ke kanan, atau ke kiri dengan membentuk jalur
aliran ke kiri, maka sungai juga akan pasrah untuk dibentuk sebagai pengangkut
limbah atau dibentuk sebagai pemenuh kebutuhan rumah tangga, tergantung dari
kehendak tangan-tangan manusianya.
Proteksi Negara dan Kesadaran
Masyarakat
Problem kerusakan lingkungan hidup seperti pencemaran sungai ini
sebenarnya adalah efek domino yang bermula dari rendahnya pendidikan
masyarakat. Rendahnya pendidikan masyarakat berdampak pada lemahnya kesadaran
lingkungan. Lemahnya kesadaran lingkungan berdampak pada rendahnya inisiasi
masyarakat untuk membangun sistem yang bisa memproteksi kelangsungan hidup
manusia dan lingkungannya. Rendahnya inisiasi masyarakat juga akan berdampak
terhadap lemahnya kontrol dan dorongan pada pemerintah untuk bertindak sesuai
dengan kepentingan hidup masyarakatnya, yaitu kepentingan untuk memanfaatkan sumber
daya alam, kepentingan untuk dapat melestarikan kehidupan.
Seperti kita ketahui bersama, wilayah Indonesia yang disangga oleh
banyaknya gunung, baik yang aktiv ataupun tidak, menjadikan tanah Indonesia
subur, mata air dan sungaipun mengaliri penduduknya, memenuhi berbagai
keperluan hidup masyarakat yang tinggal di sana—termasuk memenuhi kebutuhan
rasa batin yang puas dan bahagia dari dan bersama alam.
Namun seiring
perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia tidak mampu membendung
ambisinya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang seringkali berlebih. Akibatnya
gedung dibangun di sana-sini, eksploitasi sumber daya alam yang tidak
bertanggungjawab, dan penerapan teknologi yang merusak lingkungan. Salah satu
dampak yang kasat mata bagi kita dan menyentuh emosional saya secara pribadi
adalah kerusakan sungai. Padahal sudah sejak lama masyarakat yang tinggal di
pegunungan bergantung betul pada sungai.
Lalu siapa yang harus bertanggungjawab?
Proteksi negara menjadi penting untuk melindungi rakyatnya dari
kerusakan lingkungan yang jelas-jelas merugikan. Tentu saja tugas negara yang
dalam hal ini dilaksankan oleh pemerintah tidak cukup hanya membuat regulasi
tentang lingkungan hidup, tapi yang paling mendasar adalah bagaimana menerapkan
aturan main yang telah dibuat itu dengan semestinya. Seperti UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang saya rasa sudah sangat bagus dan rigid. Tapi ketika UU tersebut
turun ke lapangan, pelaksanaannya menjadi multi tafsir, ditafsirkan sesuai
dengan kepentingan yang menafsirkan.
Dari sinilah kerusakan lingkungan hidup
bermula, yaitu dari kerusakan etika beberapa oknum yang menginginkan keuntungan
bagi dirinya dengan cara mengabaikan kepentingan masyarakat sekitarnya. Misalnya saja penyelenggaraan suatu usaha
tanpa melakukan proses analisis dampak lingkungan (AMDAL) terlebih dahulu, atau pembangunan pabrik tanpa memperhatikan
pengelolaan limbahnya, sehingga seringkali limbah pabrik lari dari pengawasan
pemerintah dan dibuang ke sungai. Jadilah sungai kita semakin sakit dan
terpuruk.
Selanjutnya untuk menciptakan keselarasan dan kelestarian lingkungan hidup,
maka pengawasan dan penegakan hukum bagi pelanggar harus menjadi komitmen
bulat-bulat pemerintah kita. Tanpa penegakan hukum, kerusakan lingkungan hidup
yang sudah terjadi hanya akan mengundang kerusakan-kerusakan selanjutnya karena
pembiaran yang di lakukan.
Selain negara, tanggungjawab menjaga dan melestarikan lingkungan hidup
tentunya juga menjadi tanggungjawab masyarakat sebagai warga negara. Tanpa
dukungan dan partisipasi masyarakat, negara menjadi kehilangan kekuatan
untuk melaksanakan tugasnya dalam menjamin keberlangsungan lingkungan hidup
tersebut.
Dukungan dan partisipasi masyarakat bisa dilakukan dengan menjaga
kebersihan sungai atau lingkungan lain misalnya, mengelola limbah rumah tangga
agar dapat dimanfaatkan, dan jika menemukan suatu kegiatan yang mengancam
kelestarian lingkungan hidup hendaknya tidak segan-segan untuk melapor. Mari bersama-sama
kembalikan surga kita, kehidupan kita yang mengalir segar seperti sungai-sungai
kita!
Okey punya ni mba Dwi, mewakili apa yang dirasa banyak orang yang hidup dikampung lalu ke kota tentang sungai dan air :)
BalasHapus