Senin, 03 Agustus 2015

Ayah

Ngeliat aksi nekad seorang ayah yang menawarkan ginjalnya demi membiayai putrinya kuliah bikin merinding. Betapa cinta seorang ayah terhadap putrinya melebihi nyawanya, betapa untuk mendapatkan sesuatu butuh pengorbanan tingkat akhir, betapa tanggungjawab menjadi orangtua itu membikin syaraf-syaraf seseorang dituntut berpikir diluar normal, dan terakhir, betapa pendidikan itu sulit terjangkau oleh kalangan menengah bawah.

Saat ngeliat tayangan ini, aku tengah mengantarkan teman di sebuah klinik. Di ruang tunggu itu berita seorang ayah yang menawarkan ginjal di jalanan Ibukota menarik perhatianku. Aku benar-benar terpaku melihat laki-laki yang disamarkan wajahnya itu membentangkan selembar kertas karton bertuliskan "Saya Menjual Ginjal Saya untuk Biaya Kuliah Putri Saya". Menjual ginjal seperti menjual pisang goreng, di jajakan dipinggir jalan. Hampir berhamburan air mataku, tapi aku tahan karena tengah berada di ruang publik. Aku tak mau dilihat sebagai perempuan cengeng meski kenyataannya iya.

Teringat waktu kuliah dulu, ayahku memang betul-betul banting tulang untuk memenuhi segala kebutuhan kuliahku, termasuk kebutuhan hidupku. Pekerjaan ayah sungguh kasar, bermain tanah liat untuk produksi genteng. Jadi, genteng-genteng yang berfungsi meneduhkan rumah kita itu sungguh dibuat dengan susah payah, kawan. Dimulai dari mengeruk tanah, lalu memilahnya dari bebatuan, menyiramnya dengan air yang harus diangkut dari sumber mata air yang jauh, kemudian mengaduknya dengan pasir laut, barulah digiling menggunakan mesin molen. Setelah keluar dari penggilingan, maka tanah liat yang sudah berbentuk persegi itu dipres dengan mesin yang digerakan kekuatan tangan. Lalu ditiriskan, dikeringkan. Proses itu memakan waktu berhari-hari. Setelah kering baru dibakar. Membakarnya pun tak mudah, karena harus dengan kayu bakar kering yang sudah dibelah-belah. Dengan segala resiko dan kelelahannya tentu saja ayah pernah mengalami kecelakaan kerja beberapa kali. Itu menyesakkan.

Alhamdulillah, kerja keras dan do'a ayah beserta Ibu membuahkan hasil. Aku diwisuda. Meski wisudaku  telat, tapi semasa menjalani kuliah diluar batas waktu aku berusaha memenuhi kebutuhan hidup dan biaya kuliah sendiri, meski tidak full. Sebisa dan semampuku meringankan beban orangtua dengan cara menjadi guru privat, berjualan baju, tas, dompet. Aku tau dan merasakan betapa mencari uang itu tidak mudah. Maka ketika mendapatkan untung sepuluh-dua puluh ribu hatiku melayang-layang. Puas.

Setiap pulang ke rumah-kebetulan waktu kuliah aku ngekost--jiwaku seperti disentil-sentil. Melihat ayah dan ibu kelelahan diujung malam sering membuatku merasa bersalah. Aku pun tak sungkan-sungkan memijiti badan mereka yang sudah remuk redam mencari nafkah. Sungguh aku tak pernah menolak jika mereka meminta dipijit. Bahkan aku sering menawarkan diri jika mereka tak memintanya jua. Dalam hatiku, baru itu yang bisa aku lakukan. Selagi belum bisa membalas kebaikan-kebaikan orangtua dengan yang pantas, maka lakukanlah yang minimal bisa dilakukan, begitu pesanku dalam hati.

Ayah,
dalam diammu ada mimpiku
dalam kebahagiaanku ada tetesan keringatmu
bagaimana aku mampu untuk menebus?

Ayahku


Tidak ada komentar:

Posting Komentar