Rabu, 18 November 2015

Pahlawanku, Guru Yang Semangat, Kreatif dan Ikhlas

Di kampung, sekolah itu tidak wajib punya fasilitas bagus, yang wajib adalah punya  guru-guru yang semangat, kreatif dan ikhlas tentunya. Apalah jadinya jika sekolah di kampung yang berdiri dengan segala keterbatasan tidak didampingi oleh guru-guru hebat? Bisa bubarlah pendidikan, mandeklah potensi anak-anak dan terkuburlah cita-citanya.

Untungnya ada guru-guru yang hebat, itulah yang Saya rasakan saat menempuh pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah) di kampung dulu. Guru-guru yang tidak mengeluh saat gajinya telat (Sudah telat, sedikit pula!). Guru-guru yang tidak mengedepankan formalitas tapi mendorong substansi (pengalaman sekolah tanpa alas kaki karena banjir dan tidak pernah dipermasalahkan oleh guru). Guru-guru yang berbaur dengan muridnya dan menikmati setiap detik proses pembelajaran. Itulah sebabnya guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Saya sepakat!

 Lupa akan Keterbatasan

Bagi kami menjalani proses pembelajaran dengan fasilitas terbatas tidak jadi masalah. Bahkan waktu itu Saya sendiri tidak sadar kalau banyak kekurangan fasilitas disana-sini. Mulai dari perpustakaan yang digabung dengan ruang kelas 5 (hanya disekat dengan papan teripleks), ruang kepala sekolah yang di gabung dengan kelas 4 (juga disekat papan tripleks), belajar matematik menggunakan kerikil, potongan bambu dan banyak keterbatasan lain yang dikelola secara kreatif oleh guru-guru.

Bukan hanya mensiasati keterbatasan fasilitas, ketika SDM di sekolah kami juga terbatas, guru rela menghibahkan tenaganya untuk mengerjakan banyak hal.  Itu terjadi karena memang sekolah kami tak mampu menggaji tukang kebun atau juru kunci. Saat ruang kelas kemasukan air banjir misalnya, guru dan siswa bergotong royong membersihkan kelas. Saat tembok kena longsoran tanah, guru pun tak segan-segan membuka seragamnya dan berjibaku dengan lumpur bersama anak-anak. Dengan demikian kami makin semangat bahu membahu. Pelajaran gotong royong pun kami dapatkan dari praktek bersih-bersih seperti ini. Guru tidak berteori tapi membangun budaya dengan tindakan, dengan teladan.

Selain menciptakan budaya gotong royong dengan teladan, hal lain yang tak pernah Saya lupakan adalah pengalaman satu kelas dengan siswa tunarungu. Ya, menurut Saya keputusan kepala Madrasah, Pak Busro, menerima satu siswa tunarungu untuk bergabung di sekolah kami bukanlah keputusan salah. 

Di kampung tidak ada SLB. Sementara masyarakat sudah punya kesadaran tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Maka bagaimana caranya agar anak yang berkebutuhan khusus tersebut bisa mengenyam pendidikan, ya di sekolahkan-meski di sekolah umum. Dan jangan anggap remeh potensi seorang anak berkebutuhan khusus seperti dia, karena nyatanya anak tersebutlah yang mempunyai potensi seni dan matematika paling menonjol di kelas kami.

Menyisihkan Rizki untuk Siswa

Sudah bertahun-tahun lalu Saya lulus dari sekolah dasar. Guru-guru pun berganti seiring masuknya usia pensiun. Saya sempat berfikir akankah semangat mengajar dengan ikhlas tergerus oleh jaman? Jaman yang makin materialis dan individualis. Ternyata pikiran Saya salah.

Beberapa waktu lalu Saya bincang-bincang tentang sekolah anak Bu lik Saya. Dengan berbinar-binar Bu Lik mengungkapkan bahwa dia merasa sangat terbantu ketika menyekolahkan anaknya di madrasah tempat Saya belajar dulu itu. Dia merasa terbantu karena guru-guru PNS disitu berkenan menyisihkan uang untuk membelikan seragam siswa-siswanya. Mendengar pengakuan Bu Lik syaraf otak Saya langsung tersentak. Saya merasai debaran bahagia yang berbaur dengan haru. Ternyata masih ada pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa itu. Masih hidup semangat memberi-bukan hanya ilmu-di sekolah kampung itu. Kembali Saya meyakini, di kampung sekolah itu tidak wajib punya fasilitas bagus, yang wajib adalah punya  guru-guru yang semangat, kreatif dan ikhlas tentunya.

***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar