Di kampung, sekolah itu tidak
wajib punya fasilitas bagus, yang wajib adalah punya guru-guru yang semangat, kreatif dan ikhlas
tentunya. Apalah jadinya jika sekolah di kampung yang berdiri dengan segala
keterbatasan tidak didampingi oleh guru-guru hebat? Bisa bubarlah pendidikan,
mandeklah potensi anak-anak dan terkuburlah cita-citanya.
Untungnya ada guru-guru yang
hebat, itulah yang Saya rasakan saat menempuh pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah) di kampung dulu.
Guru-guru yang tidak mengeluh saat gajinya telat (Sudah telat, sedikit pula!).
Guru-guru yang tidak mengedepankan formalitas tapi mendorong substansi
(pengalaman sekolah tanpa alas kaki karena banjir dan tidak pernah
dipermasalahkan oleh guru). Guru-guru yang berbaur dengan muridnya dan
menikmati setiap detik proses pembelajaran. Itulah
sebabnya guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Saya sepakat!
Lupa akan Keterbatasan
Lupa akan Keterbatasan
Bagi kami menjalani proses
pembelajaran dengan fasilitas terbatas tidak jadi masalah. Bahkan waktu itu
Saya sendiri tidak sadar kalau banyak kekurangan fasilitas disana-sini. Mulai
dari perpustakaan yang digabung dengan ruang kelas 5 (hanya disekat dengan
papan teripleks), ruang kepala sekolah yang di gabung dengan kelas 4 (juga
disekat papan tripleks), belajar matematik menggunakan kerikil, potongan bambu
dan banyak keterbatasan lain yang dikelola secara kreatif oleh guru-guru.
Bukan hanya mensiasati
keterbatasan fasilitas, ketika SDM di sekolah kami juga terbatas, guru rela
menghibahkan tenaganya untuk mengerjakan banyak hal. Itu terjadi karena memang sekolah kami tak
mampu menggaji tukang kebun atau juru kunci. Saat ruang kelas kemasukan air
banjir misalnya, guru dan siswa bergotong royong membersihkan kelas. Saat
tembok kena longsoran tanah, guru pun tak segan-segan membuka seragamnya dan
berjibaku dengan lumpur bersama anak-anak. Dengan demikian kami makin semangat bahu
membahu. Pelajaran gotong royong pun kami dapatkan dari praktek bersih-bersih
seperti ini. Guru tidak berteori tapi membangun budaya dengan tindakan, dengan
teladan.
Selain menciptakan budaya gotong
royong dengan teladan, hal lain yang tak pernah Saya lupakan adalah pengalaman
satu kelas dengan siswa tunarungu. Ya, menurut Saya keputusan kepala Madrasah,
Pak Busro, menerima satu siswa tunarungu untuk bergabung di sekolah kami
bukanlah keputusan salah.
Di kampung tidak ada SLB. Sementara masyarakat sudah
punya kesadaran tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Maka bagaimana caranya
agar anak yang berkebutuhan khusus tersebut bisa mengenyam pendidikan, ya di
sekolahkan-meski di sekolah umum. Dan jangan anggap remeh potensi seorang anak berkebutuhan khusus seperti dia, karena nyatanya anak tersebutlah yang mempunyai potensi seni dan matematika paling menonjol di kelas kami.
Menyisihkan Rizki untuk Siswa
Sudah bertahun-tahun lalu Saya
lulus dari sekolah dasar. Guru-guru pun
berganti seiring masuknya usia pensiun. Saya sempat berfikir akankah semangat
mengajar dengan ikhlas tergerus oleh jaman? Jaman yang makin materialis dan
individualis. Ternyata pikiran Saya salah.
Beberapa waktu lalu Saya
bincang-bincang tentang sekolah anak Bu lik Saya. Dengan berbinar-binar Bu Lik
mengungkapkan bahwa dia merasa sangat terbantu ketika menyekolahkan anaknya di
madrasah tempat Saya belajar dulu itu. Dia merasa terbantu karena guru-guru PNS
disitu berkenan menyisihkan uang untuk membelikan seragam siswa-siswanya. Mendengar
pengakuan Bu Lik syaraf otak Saya langsung tersentak. Saya merasai debaran
bahagia yang berbaur dengan haru. Ternyata masih ada pahlawan-pahlawan tanpa
tanda jasa itu. Masih hidup semangat memberi-bukan hanya ilmu-di sekolah
kampung itu. Kembali Saya meyakini, di kampung sekolah itu tidak wajib punya
fasilitas bagus, yang wajib adalah punya
guru-guru yang semangat, kreatif dan ikhlas tentunya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar