Sabtu, 02 April 2016

SIAPA YANG TERORIS, SIAPA YANG MENCIPTA TEROR

-Kawal Kasus Siyono-

Kalau kamu seorang istri, kemudian suamimu yang kamu tau dia seorang pekerja keras dan jujur, tiba-tiba disergap aparat bersenjata untuk alasan  yang sungguh hebat, yaitu “suamimu dianggap orang yang berpengaruh terhadap stabilitas Negara”, bagaimana perasaanmu? Kalau kamu seorang ibu, anak yang kamu dampingi pertumbuhannya sampai dia dewasa, sampai dia sanggup membaktikan dirinya padamu, tiba-tiba digeledah kasar dan dibawa pergi tanpa memberikan penjelasan yang terang, bagaimana kamu rasai detak jantungmu? Atau siapa pun kamu, bagaimanakah jika orang dekat yang senantiasa bersamamu, tiba-tiba dirampas dan dikembalikan dalam keadaan luka tak bernyawa, tanpa kamu tau sebabnya.

Mengapa begitu mudah menghilangkan nyawa untuk dikatakan hebat. Hebat dan bejat kemudian jadi beda-beda tipis. Seringkali kita kehilangan orientasi kemanusiaan dalam ambisi kekuasaan. Ketakutan jatuh, ketakutan kalah, telah membuat jiwa kita menjadi buas. Menyingkirkan dan menghabisi orang lain dengan arogan.

Hari ini di Indonesia nyawa seorang manusia melayang di tangan aparat tanpa proses hukum. Salahnya apa? Buktinya mana? Prosedur seharusnya bagaimana? Pertanyaan itu seperti sebuah teka-teki silang yang tidak menyediakan jumlah kotak jawaban yang singkron dengan pertanyaannya-sulit. Apa pun alasannya  harus dijawab. Akhirnya dijawab-meski tidak masuk akal.

Siyono, nama pemuda asal Klaten itu diduga sebagai teroris. Dia ditangkap petugas Densus 88 pada 8 Maret 2016. Namun sebelum dugaan itu terbukti, 2 hari kemudian kabar kematiannya sampai pada sang istri. Jenazah Siyono dikembalikan, istrinya diberi 2 gepok uang. Mereka piker 2 gepok uang itu mampu membereskan segalanya, 2 gepok uang itu mampu menyembunyikan kebenaran. Namun sayang disayang, uang terlalu kecil untuk membeli rasa keadilan. Istri Siyono berontak. Harga dirinya tegak.

Mati kenapa?

Kapolri bilang Siyono kelelahan dalam usaha melawan petugas. Ya terang saja, mana mungkin Siyono tak lelah jika harus berhadapan dengan kekuatan penguasa bersenjata? Tapi tugas aparat bukan unjuk kekuatan dengan rakyat yang lemah. Berkelahi. Alasan yang memalukan. Berkelahi itu antar TNI dengan tentara Negara lain yang menyerang, berkelahi itu antara sekelompok pasukan khusus dengan sekelompok teroris yang kekuatannya sepadan. Kalo preman berkelahi dengan seorang anak TK, itu konyol. Tidak sepadan.

Selain itu, seorang warga Negara yang baru terduga melakukan tindak kejahatan, tidak boleh diintimidasi apalagi sampai terbunuh. Karena dugaan atau sangkaan itu tidak bisa membuktikan apapun. Terduga tidak serta merta menjadi alasan penetapan orang menjadi bersalah. Siyono tidak terbukti bersalah. Dan menghukum orang yang tidak bersalah adalah kedzaliman besar. Kalau Siyono bersalah, datangkan bukti, lakukan proses peradilan dan jatuhkan hukuman yang setimpal. Itu baru Negara hukum. Kalau belum terbukti sudah dihukum, mau jadi apa Negara ini.


Mensikapi kedzaliman

Kalau kita diam dan membenarkan tindakan Densus 88 berlaku sewenang-wenang, itu sama artinya kita mengijinkan tindakan serupa akan terus berlangsung. Terus menerus. Mempergilirkan korban. Bisa jadi hal serupa menimpa orang yang lain, orang dekat kita, atau kita sendiri. Bersyukur Alhamdulillah, istri Siyono sendiri, Suratmi, kekeh untuk mengungkap kebenaran dan meminta bantuan PP Muhammadiyah untuk melakukan autopsi jenazah suaminya-meski harus terusir dari kampung halaman.

Sungguh mulia keteguhan hati Suratmi. Ia rela membayar mahal sebuah pembuktian kematian suaminya meski misal dengan pengusiran dirinya beserta 5 anaknya. Pengusiran ini, menurut berita Sang Pencerah, merupakan isyarat yang dinyatakan oleh kepala desa Pogung yang tidak sepakat diadakan autopsi. Jika autopsi ada, maka harus dilakukan diluar desa dan tidak boleh dimakamkan di desa Pogung lagi. Selain itu keluarga Siyono juga harus angkat kaki dari kampung. (Mudah-mudahan ini tidak benar-benar terjadi)


Suratmi tidak bergeming. Ia terus melaju bersama elemen-elemen yang mendukung tindakannya. Kalau anggota datasemen khusus 88 terbukti bersalah, maka akan ada proses hukum. Begitulah seharusnya. Pengusutan kasus ini harus terus dikawal. Mengingat sejauh ini dalam catatan Komnas HAM, ada sebanyak 121 warga, termasuk Siyono, yang ditewaskan Densus 88 dalam tindak pemberantasan teroris. Tragis! Ingat, tugas Densus 88 memberantas teroris, bukan menciptakan terror tandingan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar