Sabtu, 25 April 2015

Tak Ingin Jadi Gadis Pantai


Mengenaskan. Tembok agung itu menjadi pembeda manusia dengan manusia. Kenapa manusia harus membedakan dirinya dengan manusia? Pertanyaan lara yang saya ungkit dari dasar hati setelah membaca masterpiece Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai.
Sangat menyentak kesadaran sejarah sebagai pribumi yang lahir tidak lama dari masa feodal (belum sampai 100 tahun lalu). Masa dimana kakek saya harus menunduk dihadapan bangsawan. Novel ini pun memberikan pemahaman kepada saya, kenapa masih banyak tersisa watak-watak pembesar yang ingin dilayani saat ini. Ya saat ini, saat abad telah bergeser. Ternyata watak feodal belum bergeser. Budaya oh budaya… “Mereka” masih merasa perkasa dengan upeti dari rakyatnya.

Gadis pantai adalah lambang kengerian kaum kampung, kaum yang hina dina. “Kotor, kumuh, tidak beriman,” kata Bendoro kiyai. Kalau pun gadis dari kampung diperistri, maka statusnya tidak lain adalah budak, istri percobaan yang dapat dibuang kapan pun bendoro mau. Kapan pun!

Di usia 14 tahun Gadis Pantai dikawinkan dengan keris, perwakilan dari bendoro (suami palsunya). Gadis yang masih ingusan, yang masih suka berguling-guling di pantai itu terus memegangi ujung kain emaknya saat diantar keluarga dan tetangganya ke pendopo. Dia tidak habis pikir kenapa secepat itu dia dipaksa meninggalkan kampung halamannya dan memasuki tembok agung yang menjulang tinggi. Itulah tembok para priyayi.

Kengiluan-kengiluan terus mendera jiwa Gadis Pantai yang telah menjadi bendoro putri. Meski telah menjadi bendoro, semakin lama ia pun semakin sadar bahwa status bendoronya tak bisa serta merta merubahnya jadi benar-benar priyayi. Ia masih dipandang sebagai gadis kampung. Budak yang bisa tidur satu ranjang dengan bendoro. Lalu suatu hari, saat dia telah melahirkan anak perempuan dengan susah payah, bendoro memintanya untuk segera melupakan sang bayi dan segera pergi dari rumah kebesaran itu. Gadis pantai dicerai dan diusir. Begitu. Sangat mudah.

Pergilah gadis pantai ke alam lepas, bebas. Ia bahkan tak kuasa pulang ke kampung halamannya. Ia mungkin akan tetap berharap pada laut yang telah memberikan segalanya di masa kecil.

Saat menjemput Gadis Pantai, ayahnya sempat berujar,”Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi”.

*Yang sedikit menggelitik dari roman ini adalah ketika Mardinah, seorang gadis priyayi yang cantik pada akhirnya menyerahkan diri pada bujang lapuk yang tinggal di pesisir, Daus Sang Pendongeng. Nasib Mardinah ini menjadi berkebalikan dengan nasib gadis pantai. Mardinah sebagai priyayi harus pasrah pada lelaki kumuh yang pekerjaannya main rebana, sementara Gadis Pantai harus menumbalkan dirinya pada pembesar priyayi.


 25 April Sendu, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar