Beberapa tahun terakhir aku
berusaha melupakan hari lahirku. Hari lahir yang bertepatan dengan hari lahir
tokoh emansipasi perempuan di Indonesia, R.A. Kartini. Namun usaha itu selalu
gagal. Karena entah teman-teman punya kesan apa terhadapku, sehingga beberapa
dari mereka selalu mengingat hari lahirku dan mengucapkan selamat. Dengan
begitu aku pun jadi ikut mengingat. Ditambah-tambah media juga tak ketinggalan memblow
up perayaan hari Kartini di beberapa daerah.
Pertama, karena hari
lahirku yang selalu diperingati oleh masyarakat Indonesia (sebenarnya yang
diperingati hari Kartininya), ternyata memberi sedikit rasa bangga padaku.
Bagaimana tidak? Kartini adalah salah satu tokoh perempuan yang sangat
inspiratif, dia adalah pendobrak keterbelakangan perempuan di tanah air. Maka
terkadang aku lupa daratan, mengidentikan diriku dengan Kartini—hanya karena
lahir di hari, tanggal dan bulan yang sama. Menurutku ini adalah kebanggaan
yang naïf dan norak. Karena tidak ada korelasi antara hari lahir seseorang
dengan karya-karya dalam hidupnya. Kalau pun suatu saat aku bisa seperti
Kartini tentu itu bukan karena hari lahirku sama dengan dia. Melainkan karena upaya dan kemauan belajarku yang keras.
Kedua, aku ingin selalu
“on” dalam kesadaran. Sadar bahwa perayaan itu hanyalah ritual belaka. Dia
menghadirkan huru-hara dan kegembiraan yang sesaat. Seolah-olah kebahagiaan dan
perhatian teman-teman/saudara itu hanya terjadi dalam sehari saja. Padahal ada
ratusan hari dalam setahun. Jika demikian, setelah sehari berlalu, hadirlah
kembali kehampaan-kehampaan di hari yang lain (Beginilah kalau kita terjebak
dalam perayaan). Lalu kapan kita akan bahagia lagi? Haruskah menunggu hari
lahir kita setahun lagi? Oh No…! Maka, jika ingin memperhatikan seseorang,
memberi hadiah, kejutan, ataupun kasih sayang, berikanlah setiap hari,
sepanjang waktu. Itulah kesejatian.
R.A. Kartini |
Dwi Setyowati |
Mereka berdua beda kan? Ha..ha.. (jelas!!)
Tapi…bagaimana pun aku tetap
berterimakasih kepada semua yang mengekspresikan cintanya, di hari lahirku dan
hari-hari yang lain. Semalam sebenarnya aku sudah hampir lupa dengan hari ini.
Namun tiba-tiba datang sms dari sepupuku, Atik, katanya ia ingin mengucapkan selamat
lebih dulu walaupun hari lahirku jatuh esok hari, yaitu setelah jam bergeser ke
angka 12 malam tadi. Lalu ada Bunda Evi, aku suka beli pulsa ke dia, dan aku
mendapat kejutan berupa kado “pulsa”. Setelah ku telusuri ternyata kado pulsa
itu dipersembahkan oleh sahabat karibku, Novi. Novi baik sekali. Aku belum
check nomor rekening (takutnya dia transfer uang juga ke rekeningku, wkwkwkwk).
Kemudian memasuki tanggal lahirku
(setelah jarum jam melewati angka 12), selalu setia “Ani” sebagai orang yang
selama ini tak pernah lupa dengan hari lahirku dan sebagai orang yang selalu
pertama mengucapkan selamat pada dini hari. Selanjutnya datang pula do’a dari
special samwan Amin Wahyudi, sebuah ketulusan yang menelusup di tengah
keterjagaanku. Lalu Rita, pak Yanto, Mba Adah, ibunya Safira.
Satu lagi teman yang membuatku
heran bin gumun. Namanya Umi. Aku telah berpisah dengannya selama 10 tahun,
tapi dia tak pernah absten memberi perhatian padaku, rutin mengirim ucapan
selamat. Sebelum punya handphone pun dia sempatkan berkirim surat dan kado ulang
tahun ke alamat rumah. Kado itu adalah buku panduan jurnalistik. Dia ingin
melihatku menjadi jurnalis. Tapi sayang aku kalah pamor sama Najwa Shihab,
hahaha.. Terimakasih Umi… Terimakasih juga Wilis, Diyah Nurmanita Syafa’ah, Ismey
Nur Anggraeni, Mey Rahmawati, Nisa dan semua-muanya.
Terimakasih, kalian telah
membuatku gagal lupa…
Tapi kegagalan inilah yang
akhrinya jua membuatku bersyukur. Bersyukur kepada Sang Pemberi hidup.
Mudah-mudahan berkah umur kita semua, aamiin…
Sudut Kota, 21 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar