Mengenaskan. Tembok agung itu
menjadi pembeda manusia dengan manusia. Kenapa manusia harus membedakan dirinya
dengan manusia? Pertanyaan lara yang saya ungkit dari dasar hati setelah
membaca masterpiece Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai.
Gadis pantai adalah lambang
kengerian kaum kampung, kaum yang hina dina. “Kotor, kumuh, tidak beriman,”
kata Bendoro kiyai. Kalau pun gadis dari kampung diperistri, maka statusnya
tidak lain adalah budak, istri percobaan yang dapat dibuang kapan pun bendoro
mau. Kapan pun!
Di usia 14 tahun Gadis Pantai dikawinkan
dengan keris, perwakilan dari bendoro (suami palsunya). Gadis yang masih
ingusan, yang masih suka berguling-guling di pantai itu terus memegangi ujung
kain emaknya saat diantar keluarga dan tetangganya ke pendopo. Dia tidak habis pikir
kenapa secepat itu dia dipaksa meninggalkan kampung halamannya dan memasuki
tembok agung yang menjulang tinggi. Itulah tembok para priyayi.
Kengiluan-kengiluan terus mendera
jiwa Gadis Pantai yang telah menjadi bendoro putri. Meski telah menjadi
bendoro, semakin lama ia pun semakin sadar bahwa status bendoronya tak bisa
serta merta merubahnya jadi benar-benar priyayi. Ia masih dipandang sebagai gadis
kampung. Budak yang bisa tidur satu ranjang dengan bendoro. Lalu suatu hari,
saat dia telah melahirkan anak perempuan dengan susah payah, bendoro memintanya
untuk segera melupakan sang bayi dan segera pergi dari rumah kebesaran itu.
Gadis pantai dicerai dan diusir. Begitu. Sangat mudah.
Pergilah gadis pantai ke alam
lepas, bebas. Ia bahkan tak kuasa pulang ke kampung halamannya. Ia mungkin akan
tetap berharap pada laut yang telah memberikan segalanya di masa kecil.
Saat menjemput Gadis Pantai, ayahnya
sempat berujar,”Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut,
dia lebih pemurah dari hati priyayi”.
*Yang sedikit menggelitik dari
roman ini adalah ketika Mardinah, seorang gadis priyayi yang cantik pada akhirnya
menyerahkan diri pada bujang lapuk yang tinggal di pesisir, Daus Sang
Pendongeng. Nasib Mardinah ini menjadi berkebalikan dengan nasib gadis pantai.
Mardinah sebagai priyayi harus pasrah pada lelaki kumuh yang pekerjaannya main
rebana, sementara Gadis Pantai harus menumbalkan dirinya pada pembesar priyayi.
25 April Sendu, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar