Rabu, 21 Januari 2015

Biarlah Hujan Tetap Hujan


Pagi ini langit menangis, sesenggukan, lalu membuncah. Seperti sedang berkabung atas matinya etika dan estetika dalam seonggok daging yang merah. Ia tersedu, menyaksikan bayangannya yang hancur. Bayangan itu adalah kekasih yang Ia tampar bertubi-tubi.

Materi yang lemah itu bersujud, memohon ampun atas kebrutalan dan kekejaman yang ditimpakan. Kekasih menanggapinya dengan nada yang tak jelas, mengulang kata-kata yang membuatnya trauma dan remuk. 

"Oh Tuhan..., begitu kejamkah cinta sehingga menyamarkan antara hubungan pasangan dengan hubungan vertikal antara majikan dan pelayan, guru dan murid, hakim dan terdakwa?".

Aku sedih jika keromantisan harus berakhir dengan kesadisan. Cinta bukan kekuasaan yang mencengkram obyek yang dikuasai. Cinta bukan juga soal penaklukan yang butuh cara-cara heroik untuk menang. Ini adalah soal pengakuan dan penerimaan. Jika kau mengakui dan menerima, maka Ia masuk dengan alamiah. Lalu keluar dengan alamiah. Tak ada kekerasan, tak ada kesadisan.

Jika di titik-titik ini ada sebuah lubang keperihan di batinmu, aku ingin menebus. Sungguh. Biarlah hujan tetap hujan, atau gerimis yang romantis. Jangan datangkan petir, jangan! Karena semua sudah cukup getir.

Jakarta, 22 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar