Sekitar empat hari yang lalu saya menerima telpon dari
sahabat di seberang. Suaranya masih renyah seperti sediakala, tawanya selalu
lepas--dalam segala kondisi. Sahabat saya ini adalah laki-laki dengan energi
luar biasa. Namanya Slamet. Kami biasa memanggilnya Mbah Slamet.
Mbah Slamet adalah laki-laki yang dulu pernah
saya boncengkan dengan motor saat hujan lebat menuju Darmakradenan, sebuah
kampung di pegunungan Banyumas. Dialah laki-laki yang sering saya datangi tanpa
mengenal waktu. Kadang di pagi hari, siang, bahkan larut malam. Biasanya saya
cuma numpang ngobrol di rumahnya dengan harapan mendapat kopi gratis. Dia juga
laki-laki yang pernah ku paksa untuk berorasi di perempatan Pendopo Wakil
Bupati Banyumas untuk menolak kenaikan harga BBM era presiden SBY. Kemarin,
dengan suaranya yang sumringah, Mbah Slamet mengabari saya bahwa Dia sedang di
rumah sakit menunggui istrinya.
Saya sedih tidak bisa menemani Mbah Slamet
menjaga istrinya. Saya menebak-nebak
maksudnya menelpon saya. Barangkali Ia kesepian dan butuh teman untuk
menanggung beban hidupnya. Ia bercerita sedang menunggui isterinya seorang diri
di rumah sakit. Mungkin anak-anaknya sibuk. Setahu saya anaknya ada empat,
perempuan semua. Mereka keluarga yang sederhana, guyub rukun.
Saya lebih
banyak menjadi pendengar sekaligus pendo’a untuk keluarga Mbah Slamet. Saya
jauh. Tidak seleluasa dulu lagi untuk gradag-grudug kemana pun saya mau.
Dulu saya bekerja pada organisasi. Tidak digaji, malah sering rogoh kocek
sendiri demi kelancaran organisasi. Maka dari itu tidak ada yang bisa membatasi
saya, tidak ada yang bisa menginstruksikan saya kecuali kesadaran diri
sepenuhnya untuk bekerja. Mungkin lebih tepatnya mengabdi. Sehingga kalau Mbah
Slamet butuh saya waktu itu, saya langsug bisa datang memenuhi panggilannya
(tapi bukan perempuan panggilan lho...).
Sekarang
saya tidak bisa walau hanya sekedar datang. Meski sebenarnya saya ingin sekali
datang. Bahkan waktu itu pernah saking inginnya datang saya mencoba
menghadirkan diri dalam jasad kekasih saya. Ceritanya, sebelum ini istri Mbah
Slamet sempat di rawat di rumah sakit juga. Saya yang jauh dari kampung merasa
resah. Kemudian untuk menanggulangi resah yang kian menjadi, lahirlah ide
menghadirkan diri melalui orang lain. Saya paksa sang pujaan hati untuk
menjenguk istri Mbah Slamet atas nama saya. Yah, si pujaan hati mau saja. Meski
dia sempat bingung bagaimana harus bersikap. Menjenguk orang yang tidak
dikenalnya.
Kenapa
saya ngotot?
Anda
tahu bagaimana rasanya jika kita tidak mampu berbuat baik pada orang yang baik
dengan kita? Bahkan dengan sahabat-sahabat kita? Rasanya sia-sia ini hidup.
Nabi saja mampu membalas orang yang jahat padanya dengan kebaikan, masa iya
kita tidak bisa membalas kebaikan dengan kebaikan?
Dulu,
teman organisasi saya, Nurul, terserang typus. Beberapa hari dia menjadi tak
berdaya dalam perawatan dokter. Mbah Slametlah yang menginisiasi dan merespon
paling cepat dengan kabar ini.
Malam hari kami berkumpul di rumah Mbah Slamet yang
terletak di daerah Tanjung, Purwokerto. Dibekali kue-kue oleh istri Mbah
Slamet, berangkatlah kami menerjang gelap menuju salah satu rumah sakit swasta
di kota mendoan itu.
Jalanan berlubang, mata saya juga tak awas. Ketar-ketir
rasanya. Beberapa kali kemudi agak oleng. Tapi saya tahu sedang bersama siapa
dan untuk apa. Saya bersama Mbah Slamet, seorang tua yang tak suka mengeluh
apalagi membuat-buat alasan untuk menutupi ketakutan atau kemalasan. Jadilah
saya terus melaju. Tak hiraukan lubang-lubang. Untuk sebuah aksi sosial.
Saya
lihat Nurul sangat bahagia dengan kedatangan kami. Mbah Slamet datang selalu
dengan keceriaannya, menguatkan Nurul dengan kalimat-kalimat slengekannya yang
menghibur. Yah salah satu ciri watak Mbah yang satu ini adalah dapat dengan
mudah berperan kocak atas setiap penderitaan yang dialami.
Satu
hal perlu dicatat. Kita mendatangi teman atau saudara bukan karena soal urusan
sakit belaka. Justru untuk menjaga agar mental kita tetap sehat, jiwa kita
tetap fresh, kita butuh saling datang. Paling tidak itulah pesan tersirat
yang saya tangkap dari Mbah Slamet. “Saling Datang!”. Ini dibuktikan oleh Mbah
Slamet. Dia tidak akan pernah melihat status dan usia sebagai patokan seseorang
untuk Ia datangi. Ia tak sungkan untuk datang kepada yang lebih muda (Meskipun
ini adalah kegagalan anak muda untuk hormat pada yang lebih tua).
Banyak hal-hal yang mengesankan saya saat berkeliling bersama Mbah Slamet. Salah satunya adalah perjalanan menuju Darmakradenan dengan menggunakan sepeda motor. Seperti yang sudah saya ceritakan sekilas diatas, hujan lebat tak menjadi penghalang. Padahal perjalanan belasan kilo meter, jalanan menanjak. Udara pun jadi gelap. Mbah Slamet yang tidak bisa mengendarai motor saya bonceng kala itu. Saya tawari Dia untuk berbalik arah. Pulang. Tapi laki-laki kurus ini kekeh untuk melanjutkan perjalanan. Demi mengunjungi petani disana. Saya tak bisa apa-apa. Malu dengan semangatnya. Perjalanan pun dilanjutkan.
Sampai
pada baris ini, mungkin sebagian Anda berfikiran bahwa sosok yang saya
ceritakan, dengan segala energinya adalah lelaki muda yang gagah—meskipun dipanggil
Mbah. Pergerakannya, cara berkomunikasinya, menyiratkan orang yang aktiv dan dinamis.
Ya. Anda
benar. Dia adalah lelaki muda yang gagah. Hanya saja waktu yang terlalu cepat
mengakumulasi usianya menjadi 80-an. Mungkin sebagian kakek-kakek atau
nenek-nenek diluar sana memilih duduk di kursi goyang sambil mengharap
didatangi cucu dan anak-anak muda. Tapi Mbah Slamet, di usianya yang 80-an itu
memilih berkeliling. Mendatangi ruang-ruang diskusi mahasiswa Purwokerto,
menyambangi teman-teman yang menjadi korban kearoganan penguasa, mendatangi
orang-orang yang sakit.
Sekarang
bagian tubuh Mbah Slamet, istrinya, sedang sakit. Dan Saya tak bisa datang.
Mbah Slamet (sebelah kiri no.2) saat mendatangi tenda kebangkitan kaum muda di alun-alun Purwokerto. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar