Senin, 26 Januari 2015

Istri Mbah Slamet Sakit



Sekitar empat hari yang lalu saya menerima telpon dari sahabat di seberang. Suaranya masih renyah seperti sediakala, tawanya selalu lepas--dalam segala kondisi. Sahabat saya ini adalah laki-laki dengan energi luar biasa. Namanya Slamet. Kami biasa memanggilnya Mbah Slamet.

Mbah Slamet adalah laki-laki yang dulu pernah saya boncengkan dengan motor saat hujan lebat menuju Darmakradenan, sebuah kampung di pegunungan Banyumas. Dialah laki-laki yang sering saya datangi tanpa mengenal waktu. Kadang di pagi hari, siang, bahkan larut malam. Biasanya saya cuma numpang ngobrol di rumahnya dengan harapan mendapat kopi gratis. Dia juga laki-laki yang pernah ku paksa untuk berorasi di perempatan Pendopo Wakil Bupati Banyumas untuk menolak kenaikan harga BBM era presiden SBY. Kemarin, dengan suaranya yang sumringah, Mbah Slamet mengabari saya bahwa Dia sedang di rumah sakit menunggui istrinya.

Saya sedih tidak bisa menemani Mbah Slamet menjaga istrinya. Saya menebak-nebak maksudnya menelpon saya. Barangkali Ia kesepian dan butuh teman untuk menanggung beban hidupnya. Ia bercerita sedang menunggui isterinya seorang diri di rumah sakit. Mungkin anak-anaknya sibuk. Setahu saya anaknya ada empat, perempuan semua. Mereka keluarga yang sederhana, guyub rukun.

Saya lebih banyak menjadi pendengar sekaligus pendo’a untuk keluarga Mbah Slamet. Saya jauh. Tidak seleluasa dulu lagi untuk gradag-grudug kemana pun saya mau. Dulu saya bekerja pada organisasi. Tidak digaji, malah sering rogoh kocek sendiri demi kelancaran organisasi. Maka dari itu tidak ada yang bisa membatasi saya, tidak ada yang bisa menginstruksikan saya kecuali kesadaran diri sepenuhnya untuk bekerja. Mungkin lebih tepatnya mengabdi. Sehingga kalau Mbah Slamet butuh saya waktu itu, saya langsug bisa datang memenuhi panggilannya (tapi bukan perempuan panggilan lho...).

Sekarang saya tidak bisa walau hanya sekedar datang. Meski sebenarnya saya ingin sekali datang. Bahkan waktu itu pernah saking inginnya datang saya mencoba menghadirkan diri dalam jasad kekasih saya. Ceritanya, sebelum ini istri Mbah Slamet sempat di rawat di rumah sakit juga. Saya yang jauh dari kampung merasa resah. Kemudian untuk menanggulangi resah yang kian menjadi, lahirlah ide menghadirkan diri melalui orang lain. Saya paksa sang pujaan hati untuk menjenguk istri Mbah Slamet atas nama saya. Yah, si pujaan hati mau saja. Meski dia sempat bingung bagaimana harus bersikap. Menjenguk orang yang tidak dikenalnya.

Kenapa saya ngotot?

Anda tahu bagaimana rasanya jika kita tidak mampu berbuat baik pada orang yang baik dengan kita? Bahkan dengan sahabat-sahabat kita? Rasanya sia-sia ini hidup. Nabi saja mampu membalas orang yang jahat padanya dengan kebaikan, masa iya kita tidak bisa membalas kebaikan dengan kebaikan?

Dulu, teman organisasi saya, Nurul, terserang typus. Beberapa hari dia menjadi tak berdaya dalam perawatan dokter. Mbah Slametlah yang menginisiasi dan merespon paling cepat dengan kabar ini.

Malam hari kami berkumpul di rumah Mbah Slamet yang terletak di daerah Tanjung, Purwokerto. Dibekali kue-kue oleh istri Mbah Slamet, berangkatlah kami menerjang gelap menuju salah satu rumah sakit swasta di kota mendoan itu. 

Jalanan berlubang, mata saya juga tak awas. Ketar-ketir rasanya. Beberapa kali kemudi agak oleng. Tapi saya tahu sedang bersama siapa dan untuk apa. Saya bersama Mbah Slamet, seorang tua yang tak suka mengeluh apalagi membuat-buat alasan untuk menutupi ketakutan atau kemalasan. Jadilah saya terus melaju. Tak hiraukan lubang-lubang. Untuk sebuah aksi sosial. 

Saya lihat Nurul sangat bahagia dengan kedatangan kami. Mbah Slamet datang selalu dengan keceriaannya, menguatkan Nurul dengan kalimat-kalimat slengekannya yang menghibur. Yah salah satu ciri watak Mbah yang satu ini adalah dapat dengan mudah berperan kocak atas setiap penderitaan yang dialami.

Satu hal perlu dicatat. Kita mendatangi teman atau saudara bukan karena soal urusan sakit belaka. Justru untuk menjaga agar mental kita tetap sehat, jiwa kita tetap fresh, kita butuh saling datang. Paling tidak itulah pesan tersirat yang saya tangkap dari Mbah Slamet. “Saling Datang!”. Ini dibuktikan oleh Mbah Slamet. Dia tidak akan pernah melihat status dan usia sebagai patokan seseorang untuk Ia datangi. Ia tak sungkan untuk datang kepada yang lebih muda (Meskipun ini adalah kegagalan anak muda untuk hormat pada yang lebih tua).

Banyak hal-hal yang mengesankan saya saat berkeliling bersama Mbah Slamet. Salah satunya adalah perjalanan menuju Darmakradenan dengan menggunakan sepeda motor. Seperti yang sudah saya ceritakan sekilas diatas, hujan lebat tak menjadi penghalang. Padahal perjalanan belasan kilo meter, jalanan menanjak. Udara pun jadi gelap. Mbah Slamet yang tidak bisa mengendarai motor saya bonceng kala itu. Saya tawari Dia untuk berbalik arah. Pulang. Tapi laki-laki kurus ini kekeh untuk melanjutkan perjalanan. Demi mengunjungi petani disana. Saya tak bisa apa-apa. Malu dengan semangatnya. Perjalanan pun dilanjutkan.

Sampai pada baris ini, mungkin sebagian Anda berfikiran bahwa sosok yang saya ceritakan, dengan segala energinya adalah lelaki muda yang gagah—meskipun dipanggil Mbah. Pergerakannya, cara berkomunikasinya, menyiratkan orang yang aktiv dan dinamis.

Ya. Anda benar. Dia adalah lelaki muda yang gagah. Hanya saja waktu yang terlalu cepat mengakumulasi usianya menjadi 80-an. Mungkin sebagian kakek-kakek atau nenek-nenek diluar sana memilih duduk di kursi goyang sambil mengharap didatangi cucu dan anak-anak muda. Tapi Mbah Slamet, di usianya yang 80-an itu memilih berkeliling. Mendatangi ruang-ruang diskusi mahasiswa Purwokerto, menyambangi teman-teman yang menjadi korban kearoganan penguasa, mendatangi orang-orang yang sakit.

Sekarang bagian tubuh Mbah Slamet, istrinya, sedang sakit. Dan Saya tak bisa datang.


Mbah Slamet (sebelah kiri no.2) saat mendatangi tenda kebangkitan kaum muda di alun-alun Purwokerto.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar