Senin, 09 Februari 2015

Sms Ibu


Hujan tak henti-hentinya berjatuhan di jantung Indonesia, Jakarta. Saya memilih berdiam saja di depan monitor. Menikmati suara air yang berombongan terjuntai ke bumi ini. Di luar sana televisi mengabarkan banjir yang menggenang tinggi di beberapa ruas jalan ibu kota. Ini semacam banjir musiman yang belum bisa dikendalikan pemerintah kota.

Tiba-tiba datang pesan singkat di ponsel jadulku. Yap! Ibuku. Selalu dengan berita-berita kecil dari kampung. Bunyi smsnya seperti ini, "Wi, kepriwe kabare? Embok lagi sehat? Wi rambutane wis padha mateng. ko neng kono ya ora mangan apokate ya wis padha tua miki depeti".

Yuk mari kita translit sms Ibuku ke dalam bahasa Indonesia. Artinya kurang lebih seperti ini, "Wi, gimana kabarmu? Lagi sehat kan? Wi, buah rambutannya sudah masak. Kamu disitu juga nggak bisa makan alpukat, karena alpukatnya sudah tua-tua dan kami petik".

Keluargaku di kampung mempunyai dua pohon rambutan. Yang satu di halaman depan rumah, yang satu di belakang, dekat kolam ikan. Kedua-duanya selalu berbuah jika datang musimnya. Selain rambutan, di kampung juga saya mempunyai dua pohon mangga yang berjejer dengan pohon rambutan di halaman depan dan belakang rumah. Lebih membahagiakan lagi kami juga mempunyai satu pohon sawo, satu pohon durian, satu pohon duku, beberapa kelapa, pisang, jambu biji dan satu pohon alpukat! Sungguh bahagianya hidup di kampung dengan ketersediaan lahan yang lumayan.

Kegembiraan tersendiri adalah saat tanaman kami berbuah dan anggota keluarga kumpul. Biasanya salah dua dari kami memetik pohon yang sedang berbuah lalu memakannya bersama-sama. Nikmat tak terkira saat kita memakan hasil tanam sendiri. Kami merasa kenyang dan senang.

Beberapa pohon di halaman rumah mengelilingi kolam kecil kami
Dalam pesta kecil-kecilan yang kami buat, biasanya Ibu lah yang menjadi bandar. Dia akan meneliti hasil panen yang biasanya beragam ukuran dan tingkat kemasakan. Misalnya dalam satu keranjang rambutan pastilah ada rambutan yang berwarna sangat merah, semu merah, bahkan kuning. Begitu juga soal ukuran, ada yang besar, sedang dan kecil. Jumlah keluarga kami ada enam. Maka Ibu akan memastikan bahwa satu keranjang rambutan akan dibagi adil.

Setiap anggota akan mendapatkan rambutan yang beragam (merah, kuning, besar, kecil). Jangan sampai ada anggota keluarga yang dominan mendapat rambutan dengan klasifikasi tertentu. Karena dapat dipastikan jika ada yang mendapatkan klasifikasi rambutan deangan dominan tertentu akan melahirkan kecemburuan. Protes otomatis bermunculan, "Kok rambuatan yang dimakan ayah besar-besar?", "Kok punya kaka banyak yang merah?" dan seterusnya. Untuk menghindari hal tersebut itulah Ibu seringkali membagi-bagi rambuatan atau buah tertentu dengan seadil mungkin. Jika tidak sempat membaginya, biasanya Ibu berperan menjadi wasit. Siap menyemprit anggota yang berlebihan dalam konsumsi atau yang hanya memilih jenis-jenis yang baik dan menyisakan yang buruk untuk yang lain.

Ibu saya Perhitungan? Pelit?

Iyap tentu saja Ibu saya perhitungan. Dia orang yang pandai berhitung bukan hanya dalam soal membagi hasil panen, tetapi juga dalam mengambil sikap, mengambil resiko.

Kalau saja Ibu saya tidak perhitungan, apalah jadinya nasib sarapan kami setiap pagi, apalah jadinya nasib SPP kami yang harus di bayar per-semester, apalah jadinya baju-baju seragam kami, tas dan sepatu kami, dan semua-semua yang harus dibagi berenam, Ibu, Ayah, saya dan tiga saudara saya. Secara pendapatan keluarga sangat pas-pasan. Wirausaha sekaligus karyawan untuk usahanya sendiri.

Saya sangat-sangat bersyukur punyai manajer yang T.O.P. seperti Ibu. Keuangan, tenaga, bisa dimanaj sedemikian rapi. Tapi soal hati jangan ditanya. Dia bukan tipe seorang birokrat yang kaku. Dia lembut, perhatian dan penuh kasih sayang. Setiap mengkonsumsi apa pun dia akan mengingat anak-anaknya yang tidak di rumah. Dia sering bergumam, "si ini disana makan apa ya?, si itu nggak kebagian rambutan, si sulung kan suka alpukat, dll..".

Mendapat sms sore ini membuat saya senyum-senyum sendiri. Ibu masih memikirkan saya yang tak kebagian rambutan atau alpukat di rumah. Padahal kemarin saya baru saja makan rambutan 1 kg, habis. Sama sekali tidak memikirkan atau mengingat Ibu. Saya melahap semua makanan-makanan dengan perkasa...

Salam kangen untuk rumah dan para penghuninya di Lumbir....
JKT, 09 Februari 2015
Pohon durian yang ditanam Ayah dan Adik

Pisang lempeneng di kebun kami




Tidak ada komentar:

Posting Komentar