Jumat, 20 Februari 2015

Syukur


Rasa syukur adalah kunci hidup bahagia. Begitu orang-orang bijak berfatwa. Mungkin terdengar terlalu menyederhana bagi yang sudah bermandikan lara. Terlalu mengada-ada bagi yang bertubi kecewa. Anggapan mereka, kalimat manis itu hanya peredam kecewa dan mudah diucapkan oleh yang sedang tidak lara, tidak kecewa. Yaitu mereka yang menggantung di awan, dihembus angin sepoi-sepoi. Sehingga, pikir orang yang lara, mana mungkin orang yang tak lara paham tentang lara?
Tapi apalah jua arti syukur bagi yang tak pernah coba merenung. Melihat lebih dalam kekayaan yang tak pernah diakui secara jujur. Barangkali syukur sudah tak kebagian ruang jika disana (hati) sudah penuh sesak oleh keluhan dan ratapan. Karunia-karunia Tuhan disingkirkan dan dibabat habis. Hidup hanya tinggal kebencian-kebencian dan dendam. Sambil berjalan, tangan kita erat memegangi dada yang berat oleh bara. Langkah kita pun sempoyongan, persis seperti orang yang turun dari kapal karena mabok laut.

Aku yang mencoba

Aku pun tidak tau bagaimana cara kerja otak dan hati manusia yang tak bertuhan. Kenalkah mereka dengan yang namanya syukur? ikhlas? Atau semua perasaan-perasaan yang melibatkan Tuhan di dalamnya? Aku tidak tahu...

Yang aku tahu dan aku rasa, ada kekuatan besar diluar diriku. Dia ada dalam pikiran dan hatiku. Jika kadang aku abai dan melupakannya, itu perkara lain. Yang jelas aku selalu merasa punya rumah: tempat aku beranjak dan kembali. Begitulah rumah, keberadaannya menyisakan ruang rindu, yaitu saat jarak telah membawa raga, maka selalu ada pertanyaan, ":kapan pulang?".

Bersyukur dalam perjalanan sebagai manusia...

Lahir dan tumbuh adalah karunia besar yang aku terima. Sampai detik ini aku masih diberi kesempatan untuk merasakan "ada". Aku tidak akan bisa merasa "ada" jika memang aku "tidak ada". Ada yang mengadakan aku. Dia lebih tinggi dari aku. Dia lebih hebat dari aku.

Sebagai manusia, kesadaran dan pengetahuan adalah dua hal yang harus kita syukuri. Karena saat kita bisa merasa, berkesadaran, lalu mengetahui, terdapat kenikmatan yang menakjubkan. Kemenakjuban itu membuat kita bertanya, "apa, kenapa, bagaimana?" Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dari diri kita. Lalu jawabannya juga ada pada diri kita. Ya, hanya diri kita... manusia.

Manusia diberi hak menejemen luar biasa. Dia diserahi bumi seisinya untuk dimenej. Artinya, jangankan mengelola diri sendiri, Tuhan saja percaya jika manusia mampu mengelola semesta.



Jakarta, 20 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar