Malam Penganugrahan Lomba Cipta Cerpen Mahasiswa Tingkat Nasional di STAIN Purwokerto |
“Menulis itu mudah, yang susah adalah membiasakan menulis” kata Jacob
Sumarjo. Kalimat tersebut sering diucapkan ketua LPM Obsesi periode saya (2008) saat
memberikan sambutan di setiap kegiatan-kegiatan yang diselengggarakan LPM
Obsesi. Dengan kalimat yang diulang-ulang inilah saya menjadi paham betul bahwa
menulis adalah persoalan jam terbang, selain soal aktivitas baca dan
pengalaman.
LPM Obsesi adalah Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di kampus Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, sekarang sudah berubah menjadi
IAIN. Dari sinilah saya mulai belajar
menulis. Awalnya belajar teori menulis, kemudian dipaksa untuk menulis.
Dipaksa, diperas ide dan perasaanya untuk peka dengan sekitar kemudian
mengungkapkannya dalam bentuk tulisan.
Selain kemauan yang keras, saya pun menyadari, guru yang hebat akan
melahirkan murid-murid maha hebat. Di bawah bimbingan Abdul Wachid B.S, Heru
Kurniawan, M.Hum, dan Arif Hidayat, teman-teman mahasiswa yang punya minat
menulis terus dikawal.
Konsultasi dibuka secara gratis. Tulisan-tulisan yang disodorkan
betul-betul dikoreksi oleh para mentor ini. Hasilnya, beberapa mahasiswa memang
betul-betul menjadi penulis. Ada yang menjadi
penulis sastra, seperti Dimas Indiana, ada yang menjadi penulis esay,
fiksi, seperti Angga, Cenung, Yanwi Mudrikah, Wiwit, dan kawan-kawan. Meski pun
saya sendiri belum berhasil, setidaknya bisa nulis status di Facebook yang agak
“bunyi”.
Sampai detik ini, saya mengimani betul kata-kata Jacob Sumarjo. Iya sih,
mudah saja untuk corat-coret, ketak-ketik sesuka hati (bukan soal konten), tapi
membiasakan adalah persoalan sulit. Menjaga diri untuk tetap “on” dalam
kesadaran menjadi begitu terjal.
Saya berharap keimanan saya segera berubah. Berubah pada keimanan: Menulis
itu mudah, membiasakan menulis juga mudah. Tentu saja iman tanpa amal apalah
artinya. Ada konsekuensi yang harus integral dengan iman: amal.
Action! Action! “Menulislah, maka
kamu akan abadi...”
Menumbuhkan Budaya Tulis
Selain kemauan, lingkungan punya andil yang besar dalam menentukan
keberhasilan seseorang. Nampaknya ini pula yang menjadi pijakan Abdul Wachid
B.S., dosen sastra di IAIN Purwokerto untuk membangun budaya tulis di IAIN
dengan membuat lembaga dan komunitas-komunitas menulis disana.
Mahasiswa yang punya minat atau bakat menulis terus digenjot oleh Abdul
Wachid melalui wadah yang dibuat. Melalui STAIN Press beliau pernah membentuk
Sekolah Kepenulisan. Semua mahasiswa difasilitasi untuk menulis, diberikan
mentor-mentor yang berprestasi dengan karya-karyanya. Beberapa diantaranya
adalah Mas Heru, Pak Handoyo, Mas Arif.
Waktu itu Mas Heru sebagai penulis fiksi pernah mengoreksi cerpen saya
(Cerita yang alurnya pecah dan terlalu biasa!). Saya pikir Mas Heru itu tipe
orang yang tidak tegaan. Maka setelah memberi kritik biasanya Ia tetap akan
memberikan apresiasi supaya mahasiswa tetap percaya diri untuk menulis.
Pak Handoyo adalah sastrawan dengan khas kedaerahannya. Membacakan puisi
dihadapan kami dengan logat Purbalingga. “Tidak ada aturan intonasi dalam
membaca puisi, kita bisa membacanya dengan intonasi seperti apa pun,”
terangnya. Maka inilah pertama kalinya saya mendengar sebuah deklamasi puisi
yang unik. Orisinil kedaerahan.
Mas Arif adalah manusia cerdas dengan kecepatan belajar luar biasa.
Puisi-puisinya banyak dimuat surat kabar. Ia mempunyai cita rasa bahasa yang
tinggi. Sehingga bisa merasakan diksi yang pas, kalimat yang estetik.
Saya pernah menyodorkan karya-karya puisi teman kepada Mas Arif. Ia
merespon dengan sangat baik dan berkenan memberikan beberapa catatan
didalamnya. Maka dalam buku puisi perdana saya dan teman-teman, “Pilar Penyair”
, Mas Arif mendapat kesempatan menjadi komentator disana. Saya puas, ternyata
karya-karya saya dibaca dengan seksama oleh pakarnya.
Mencipta Lomba untuk Apresiasi Bakat Menulis
Mahasiswa
Selain menyebarkan virus-virus menulis melalui Sekolah kepenulisan, Abdul
Wachid juga menjadi pelopor Lomba-lomba kepenulisan di STAIN Purwokerto. Tak
tanggung-tanggung, lomba ini diperuntukan bagi seluruh mahasiswa di Indonesia,
dari berbagai Universitas Negeri dan Swasta.
Selama saya menjadi mahasiswa, lomba menulis menjadi ritual tahunan di
STAIN Purwokerto. Yang selalu menjadi pertanyaan para nominator saat berkunjung
di acara penganugrahan adalah apakah di STAIN Purwokerto ada jurusan sastra?
Tentu saja tidak mas, mba...
Yang menjadi pertanyaan kami juga adalah apakah yang boleh mengembangkan
kasusteraan hanya jurusan sastra? Tanpa jurusan sastra kami semua mencintai
sastra. Tanpa jurusan sastra kami semua ingin terus mengembangkan dan
mengapresiasi sastra. Konkretnya adalah kami membangun budaya menulis sastra
melalui lomba-lomba menulis sastra. Kami ingin mendorong sastrawan dan
penulis-penulis muda untuk terus berkarya.
Menjadi kebahagiaan sekaligus kebanggaan tersendiri sebagai mahasiswa yang
kuliah di kampus kecil nan terpencil kala itu kami dapat menjadi tuan rumah
bagi para penulis muda Indonesia. Ini keren. Positif. Mendadak terkenal dengan
upaya menghidupkan budaya menulis. Sungguh, sekali lagi kami merasa keren!
Sekarang saya sudah tidak berkuliah lagi di STAIN Purwokerto. Tidak kuliah
artinya saya lulus lho.., bukan di DO! Tapi apakah kekerenan tidak boleh
berlanjut..? Saya memang sudah tidak bisa lagi berkeren-kerenan sebagai tuan
rumah para penulis, tapi saatnya merasa keren dengan menjadi penulis! Let’s
go.....!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar